Cuaca panas terik matahari senantiasa mengiringi perjalanan pulangku dari Semarang ke Demak. Di dalam bus, ku geser jendela agar hawa segar udara dapat sedikit mengurangi rasa gerah, meskipun akhirnya yang aku dapatkan adalah udara berdebu dan polusi. Orang-orang berdesakan masuk ke dalam bus dengan wajah tanpa sedikitpun senyum seakan menunjukkan perasaannya masing-masing yang kira-kira merasa jengkel karena sopir yang tak kunjung menjalankan busnya. Tidak ada keramahan siang itu.

Tak lama kemudian, sopir menyalakan mesin, buspun melaju. Sepanjang perjalanan, aku mengamati pemandangan sekitar, potret kota Demak. Perkembangan kemajuan zaman turut mengubah keadaan kota Demak dari waktu ke waktu. Kehidupan perindustrian semakin ramai dengan didirikannya pabrik-pabrik baru di kota tersebut. Orang-orang semakin sibuk dengan urusan dagang dan kerja. Demak sungguh terasa bising. 

Keadaan yang menyibukkan seperti itu, membuat banyak hal terabaikan, salah satunya adalah sungai yang memanjang di sepanjang jalan Semarang-Demak. Perjalananku yang sedari tadi terasa sumpek bertambah buruk dengan disajikannya pemandangan sungai yang mengerikan. Sungai itu semakin dangkal dan mati tanpa air dibeberapa bagian, serta kotor dan tercemar oleh sampah dan limbah industri. Sungai yang mungkin tidak layak lagi disebut sungai karena fungsinya yang telah mati. Orang-orang semakin enggan menjamah sungai yang menjadi identias kota Demak tersebut. Dan entah sejak kapan keadaan sungai Demak menjadi seperti itu, yang jelas, semakin hari bukannya semakin baik tetapi malah semakin buruk karena orang-orang yang acuh tak acuh terhadap kondisi sungai dihadapannya. Sungguh memprihatinkan.

Demak Dulu dan Sekarang

Sejenak pikirankupun melayang jauh pada masa ketika aku masih kecil. Dimana saat itu, para warga beramai-ramai melakukan kerja bakti membersihkan sungai di sekitar desa pada minggu pagi. Sangat menyenangkan dan terasa sekali semangat gotong royong antar warga. Sungai menjadi bersih dan tentu saja sangat membantu para warga dalam melakukan aktivitasnya, seperti mencuci, mandi, wudhu, ataupun hanya sekedar bermain seperti yang kami, anak-anak kecil lakukan kala itu. Bahkan dari sungai itu juga kami dapat memenuhi kebutuhan pangan kami karena hasil tangkapan ikan yang hidup baik di sungai itu. Sungai sungguh menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang-orang yang tinggal di desa sekitar. Walaupun air PDAM telah mengaliri rumah-rumah, air bersih yang melimpah dan gratis dari sungai tetaplah menjadi pilihan.

Namun sekarang ini, keadaan seperti itu sudah tidak lagi mewarnai kehidupan masyarakat kota Demak. Tidak lagi ditemui kegiatan kerja bakti di desa. Akibatnya sungai terbengkalai, kotor dan tak terurus. Orang-orang membuang sampah ke sungai dengan seenaknya,. Apalagi diperparah dengan aliran limbah pabrik di sekitar yang  turut memberi predikat buruk sungai Demak. Bahkan saat ini, sungai Demak khususnya di daerah Sayung, tidak lagi mampu mengalirkan air karena tanah yang semakin menggunung.

Anehnya pemerintah tampak tenang saja melihat keadaan seperti itu. Padahal apabila pemerintah mau melakukan pengerukan tanah di daerah selebar 10 meter-an itu, paling tidak sungai akan kembali bisa menampung air dan setidaknya membantu mengurangi intensitas banjir di Sayung. Dalam kacamata penulis, pemerintah seolah hanya peduli dengan hal-hal yang menyangkut peningkatan dan pertumbuhan indeks perekonomian dengan mendukung perkembangan industri dan kurang mempertimbangkan kondisi lingkungan terutama sungai yang mengalir disepanjang jalan dari Semarang ke Demak.

Menghidupkan Tradisi Kerja Bakti

Kehidupan manusia selamanya tidak akan terlepas dari lingkungan. Tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya apabila manusia hidup tanpa adanya lingkungan. Segala perubahan dan pengaturan dijalankan manusia sebagai bentuk pemanfaatan terhadap lingkungan, entah itu menimbulkan dampak positif maupun negatif. Oleh karena itu, penting sekali untuk memperhatikan dan memelihara, serta menjaga lingkungan agar selalu sejalan dengan kehidupan manusia.

Sungai merupakan salah satu bagian dari lingkungan itu, dimana dari sungailah peradaban manusia dapat kita jumpai. Begitupun bagi masyarakat kota Demak yang tinggal di bantaran“Sungai Mekong” (istilah atau nama sungai dari Sayung sampai Buyaran). Bagi mereka sungai adalah hal yang tak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari sejak zaman dahulu. Akan tetapi saat ini, banyak hal berubah seiring berkembangnya zaman. Orang-orang sudah jarang bergaul dengan sungai itu. Barangkali lantaran gengsi dan malu menggunakan air sungai. Memang keadaan sungai mekong sekarang dapat dikatakan tidak layak lagi digunakan untuk aktivitas seperti mandi dan mencuci.

Apa yang telah dialami oleh sungai Demak dengan keadaannya yang semrawut adalah contoh dari salah satu permasalahan besar yang perlu dicari sebab dan solusinya. Sorotan lain yang tak kalah penting yang perlu di kaji adalah semangat kerja bakti yang kini telah lama hilang. Alasan mengapa kerja bakti sangat urgen adalah karena dari kerja baktilah kita mampu menjaga sungai agar tetap lestari.

Yang sering menjadi kendala adalah orang-orang yang saat ini telah banyak disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing. Mereka cenderung berkutat dengan masalah perekonomian dan kesejahteraan hidup mereka. Tak jarang pada hari minggupun mereka tetap berangkat kerja. Orang-orang semakin individualis, hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan merasa cuek terhadap segala sesuatu yang selama hal itu tidak merugikannya. Disinilah peran pejabat desa terutama ketua RT atau Lurah untuk tanggap dan menghidupkan kembali tradisi kerja bakti di desanya. Itupun memerlukan kesadaran dari pejabat desa juga sadar bahwa ada yang tidak beres dengan keadaan lingkungannya.

Adanya rasa keprihatinan mengenai kondisi sungai mekong Demak yang semakin parah harus dibarengi dengan semangat untuk memperbaiki sungai tersebut. Tetapi apabila kenyataannya rasa prihatin saja tidak punya, jangan harap muncul gerakan untuk memperbaiki. Barangkali juga keadaan sungai yang demikian tidak hanya terjadi di kota Demak, tetapi juga daerah-daerah lain di Indonesia. Apakah kita harus menunggu alam menampakkan amarahnya dulu agar kita mau sadar akan pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan kita?

0 Comments