Pagi itu aku sedang berada di kampus. Menunggu salah satu dosen untuk ujian komprehensif. Sambil menunggu aku membacai situasi terkini soal Tambakrejo. Dan dari grup juga kabar dari Andre, mahasiswa UNWAHAS, Satpol PP sudah datang ke Tambakrejo. Pagi itu juga perasaan berikut pikiranku tak tenang. 

Hampir satu jam aku menunggu bapak dosen. Menyebalkan sekali menunggu dosen lama-lama. Dan kupikir-pikir dengan kondisi pikiran tidak tenang begini baiknya aku minta diundurkan saja ujian komprenya. Tanpa menunggu balasan WA dari Pak Dosen, aku langsung meluncur ke Tambakrejo.

Sesampainya aku langsung menuju ke area pengusuran. Sekitar tiga rumah sudah dirobohkan. Perasaan sedih campur marah benar-benar tidak bisa ditahan. Melihat Diaz (Anak yang kulatih baca puisi) masih berseragam sekolah dan seorang anak perempuan bersama temannya (saya lupa namanya tapi saya ingat dia dilatih oleh Sukini nari Prau Layar pas Hari Nelayan) aku langsung menuju mereka. Tangisku tak bisa dibendung lagi ketika buldozer menghancurkan TPQ Al-Firdaus dan kupeluk anak-anak. Merekapun menangis.

Tak banyak yang bisa kita lakukan ketika itu untuk menghentikan proses penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP. Ingin rasanya kulempari buldozer itu dengan batu. Tapi aku rasai diriku lemas. Kulihat beberapa mahasiswa mencoba menghalau pekerjaan Satpol PP dan mendapatkan tindakan represif. Bentrokan jelas terjadi.

Kulihat ibu-ibu bersama anak-anaknya mengeluh dan menangisi rumah-rumah mereka yang hancur, dan tentu saja marah disertai ungkapan hinaan kepada Satpol PP dan pemerintah kota. Bersama salah seorang anak berumur tiga tahunan, kuperlihatkan saja dia tontonan Upin Ipin supaya tidak memperhatikan buldozer dan bentrokan yang terjadi. Juga supaya tidak melihat ibunya yang sedang berhadapan dengan Satpol PP. Hanya agar dia tak mengalami trauma ingatan yang buruk tentang apa yang menimpa keluarga dan kampungnya.

Hari itu adalah hari ke empat puasa. Saya pribadi sebelumnya berpikir, apakah pemerintah akan setega itu menggusur di Bulan Puasa? Memang Jumat sebelum puasa Satpol PP sudah datang ke Tambakrejo membawa serta alat berat dan anjing pelacak. Namun penggusuran dibatalkan, mungkin karena protes dari warga, mungkin juga perintah atasan. Ternyata penggusuran benar-benar dilakukan hari Kamis (9/5) ini. Dan dengan mata kepalaku sendiri, pemerintah dengan tidak punya hati dan tidak berperikemanusiaan menghancurkan ruang hidup warga Tambakrejo.
Melihat TPQ yang dihancurkan aku langsung teringat pada bu RT yang bercerita soal persiapan menuju wisuda dan akhirussanah anak-anak. Ketika itu, pas hari Jumat siangnya, anak-anak akan melakukan sesi pemotretan untuk wisuda mereka. Bu RT bercerita kalau beliau sudah mendapatkan donasi untuk konsumsi buka bersama dan Da’i yang siap mengisi waktu pengajian. Rencananya akhirusannah itu dilaksanakan pada tanggal 18 Mei. “Saya tidak tau bagaimana nanti kalau seandainya penggusuran dilakukan sebelum Akhirussanah”, kata Bu RT. Dan apa yang dikhawatirkan itu terjadi.  Di hari penggusuran itu, Bu RT sampai pingsan. Ketika sadar, satu-satunya yang ia tanyakan adalah anak-anak. 

Di bawah tratak sederhana itu, aku bersama seorang ibu yang sedang hamil kira-kira empat bulan. Ada pula tiga ibu-ibu yang menggendong anaknya yang masih balita. Bahkan ada bayi yang masih sangat muda baru diselamatkan dari rumah bagian utara sebelum Buldozer sampai ke sana. Kemudian seorang nenek yang kebingungan karena rumahnya di utara sana masih terkunci, sedangkan kuncinya hilang. Lalu kuminta beberapa kawan untuk membantu nenek itu mengeluarkan barang-barangnya. Ia hidup sebatangkara tanpa sanak famili bersamanya.

Siangnya kita konsolidasi. Kita putuskan untuk menggalang bantuan dan membangun tenda sementara untuk tempat berteduh. Rencananya juga akan menduduki Balaikota sebagai bentuk protes. Tetapi dengan kondisi yang demikian kacau, dan memikirkan wilayah Tambakrejo nantinya, akhirnya kita memutuskan bertahan di Tambakrejo. Inipun sebagai bentuk perlawanan yang menunjukkan bahwa apapun yang terjadi warga Tambakrejo akan tetap bertahan di sini sampai 10 kesepakatan yang dibuat bersama Pemkot dan Komnas HAM dipenuhi.

Beberapa kali aku membaca bahkan di kolom komentar status Fbku, netizen mengatakan, “Itu tanah negara, salah siapa menempati tanah yang bukan miliknya, kalau digusur ya itu nasibnya”. Nada-nada nyinyir seperti ini jamak ditemukan terutama bagi mereka yang sangat pro terhadap pemerintah. Mereka seolah tidak melihat dalam kasus ini bahwa pemerintahlah sumber bencana sosial ini. 

Pertama, jika itu adalah tanah negara, mengapa tidak dari tahun 1973 ditertibkan, mengapa baru sekarang pemerintah peduli dengan tanahnya dan tiba-tiba mau menggusur pemukiman yang sudah dibangun puluhan tahun? Mengapa pemerintah baru menyentuh mereka dengan cara digusur setelah kehidupan sosial, budaya, pendidikan, dan ekonomi warga telah mapan? Selama ini warga tidak pernah mengeluh karena tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah kendati mereka punya KTP Kota Semarang. Mereka tidak pernah mengeluh meski rob seringkali datang ke rumah-rumah karena pemerintah enggan memikirkan nasib mereka. 

Kedua, tak ada itikad baik dari pemerintah untuk menaati kesepakatan yang telah dibuat bersama. Sampai saat ini tanah pengurukan Kali Banger yang dijanjikan sebagai wilayah relokasi warga Tambakrejo belum selesai, baru 40% yang diuruk itupun belum dipadatkan dan tidak siap ditempati. Kompensasi sebesar 1,5 juta per KK sebagai ganti paku yang dijanjikan sebelum penggusuran juga belum diterima. Dan sederet perjanjian lainnya yang dilanggar sendiri oleh pemerintah.

Ya saya tidak masalah dengan proyek pemerintah untuk menata sungai yang membutuhkan wilayah aliran agar mencegah rob, tetapi jangan semena-mena mengorbankan masyarakat miskin kota ini secara tak manusiawi. Sementara tempat berpindah belum siap, kemana mereka akan tinggal setelah penggusuran ini? Silahkan kawan-kawan datang dan saksikan sendiri warga yang masih bertahan dengan sisa-sisa harta yang mereka miliki. Semalam kulihat mereka tidur beralaskan tikar dan MMT, tanpa tembok atau papan yang melindungi mereka dari dinginnya angin laut. Ada pula yang bertahan di sekitar puing-puing rumah mereka dan tidur seadanya di kegelapan malam.

Kuharap kita bisa memandang mereka sebagai manusia juga, yang bagaimanapun harus dilindungi oleh negara. Yang benar saja, sebelum pemilu mereka diakui dan diperbolehkan untuk memilih, setelah pemilu mereka kembali tak diakui dan diperbolehkan untuk digusur. Apa begini pemerintah yang kita percaya untuk mengurus rakyatnya? Pemerintah #SemarangSekarang harus sadar, mereka dipilih bukan untuk mengabdi pada proyek dan investasi tapi pada rakyatnya. 









0 Comments