Aku adalah seorang anak dari sebuah keluarga petani sederhana. Sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara yang kesemuanya adalah perempuan, aku termasuk anak yang paling beruntung karena dapat mengenyam pendidikan sampai sarjana. Sebab kedua kakakku yang kini telah berkeluarga hanya sempat bersekolah sampai SMA.

Bapakku seorang petani yang sangat pekerja keras. Setiap hari sehabis jamaah sholat Subuh, ia langsung pergi ke sawah. Pulang sebentar pada pukul tujuh untuk sarapan, lalu kembali lagi ke sawah. Sebagian besar waktunya memang untuk bekerja. Apabila tak ada pekerjaan di sawah, bapak biasanya mengisi waktunya dengan bekerja di tempat lain, entah sebagai buruh bangunan atau pekerjaan serabutan lainnya.

Ibuku juga seorang petani. Meski sebatas membantu bapak, namun ibu tak kalah pekerja kerasnya. Ia yang selalu memasak untuk kami, terkadang juga harus ke pasar menjual hasil panenan berupa sayur-sayuran. Biasanya petang sehabis subuh ibu ke pasar, naik motor atau sepeda, lalu kembali membawa lauk sarapan untuk kami.

Keluargaku sangatlah sederhana. Sejak dulu orangtua kami selalu mengajarkan kami untuk hidup apa adanya. Makan sebisa mungkin diolah dari hasil panen sendiri. Barang apapun di rumah yang kebetulan rusak, selagi masih bisa diperbaiki maka tak perlu beli lagi. Tak ada kulkas dan mesin cuci. Rumah kami bahkan tak memiliki kunci. Pintu depan hanya diganjal dengan kayu yang dapat dibuka dari luar maupun dalam.

Hiburan kami hanyalah televisi butut yang usianya mungkin sudah 15 tahun. Kendaraan bermotor juga satu sejak dulu. Dan karena kesalahanku menghilangkan STNKnya, motor ini hanya dipakai untuk jarak dekat saja. Selain tanpa STNK, motor kami juga hanya memiliki satu rem yang ada di bawah. Rem tangannya udah dicopot semua. Memang terlihat seperti kekurangan tapi kami bahagia.

Laku sederhana ini mungkin tak lepas dari latar belakang bapak ibuku. Bapak yang merupakan anak pertama dari Sembilan bersaudara tentu sangat terbiasa bekerja keras membantu orangtuanya dalam menghidupi-menjaga adik-adiknya. Kalau ada dari kami yang mengeluhkan tentang makanan, bapak pasti akan cerita tentang bagaimana dulu dia hanya makan singkong sehari-harinya.

Ibu, kupikir keadaan kampungnya yang lumayan ndeso jika dibanding kampung bapak cukup dapat menjelaskan bagaimana ia tumbuh. Rata-rata rumah di sana masih berlantaikan tanah dan tembok kayu atau anyaman bambu. Masaknya masih menggunakan kayu dan sumber airnya adalah sumur. Meski orangtuanya adalah kyai terpandang di desa tetapi beliau hanyalah petani biasa. Maka tak heran jika ibu hanya sekolah sampai tingkat sekolah dasar.

Tentang penampilan dan berhias, kami semua tentu berkaca pada ibu. Dari dulu ibu hampir tidak pernah membeli lipstik. Yang ia miliki hanyalah bedak viva sachet yang harganya 500 rupiah itu. Tak ada minyak wangi apalagi handbody. Maka jangan heran jika kamipun tak se neko-neko perempuan lain dalam merias wajah.

Sampai kedua kakakku berkeluarga, nampaknya perilaku seperti ini juga masih sama. Memang dulu sebelum menikah kedua kakakku agak menjaga penampilan dengan setidaknya mempunyai sabun cuci muka, handbody, bedak, parfum, dll. Tetapi setelah menikah, tak ada lipstik dan parfum. Yang kujumpai di rumah kakak yang pertama hanyalah handbody dan bedak, sedangkan di kakak yang kedua, hanyalah sabun cuci muka.

Bukannya menganggap penampilan itu tidak penting, namun bagi kedua kakakku yang hidup berkeluarga dengan pendapatan pas-pasan, ada lebih banyak kebutuhan lain yang lebih penting dibanding make up. Apalagi kakak pertama yang tidak bekerja dan memiliki dua anak, tentu dia harus berpikir ulang untuk membeli lipstik di tengah permintaan anak untuk membayar uang sekolah. 

Kakak keduaku, meski ia bekerja sebagai buruh pabrik, gajinya selalu saja pas untuk memenuhi kebutuhannya dengan keluarga. Jangankan membeli bedak, untuk membeli kartu perdana untuk hape tulalitnya saja tidak pernah terlaksana.

Untung saja keduanya memiliki anak yang semuanya laki-laki. Sebenarnya tak masalah pula jika anaknya perempuan. Mereka tentu juga akan diajarkan hidup dalam kesederhanaan sebagaimana kami selama ini. Yang membuatku merasa agak beruntung karena anak-anak mereka laki-laki adalah ketika di acara tertentu seperti khataman akhirussanah mereka tidak perlu memikirkan bagaimana mau mendandani anak mereka karena membawa ke salonpun butuh biaya. Dengan kata lain, dapat menghemat biaya untuk merias wajah. Wkwkwk.

Bagaimana dengan aku? Teman-teman mungkin dapat menilai sendiri bagaimana aku selama ini. Jika sekarang aku mengenal lipstik dan bedak itu semua karena aku sudah punya penghasilan untuk membelinya. Kalau tidak, mana mungkin? Uang dari orangtua hanya cukup untuk makan sehari-hari. Jadi sebelum aku semester delapan, tidak pernah aku memakai lipstik. Kalau bedak masih kadang-kadang lah.

Menurutku karakter sederhana seperti ini sangatlah penting di tengah banyaknya perilaku konsumeris yang dimiliki oleh anak zaman sekarang. Menuruti hawa nafsu untuk membeli memang tidak akan ada habisnya. Dan bagi anak yang terbiasa dimanja dan keinginannya selalu terpenuhi akan sulit membayangkan untuk hidup apa adanya ketika suatu saat jatuh pada ketidakberuntungan material.

Anak seharusnya diajari mana hal substansial yang penting untuk dibeli dan mana yang tidak, serta mau berusaha untuk mendapatkannya agar iapun menghargai apa yang ia punya.
Aku sangat bersyukur telah dilahirkan di keluarga yang amat mencintai kesederhanaan. Aku jadi terbiasa untuk tidak menyia-nyiakan sesuatu dan menghargai apa yang kumiliki. 

0 Comments