Source: https://pxhere.com/id/photo/751154
Seperti hari-hari sebelumnya, Anisa duduk termangu di pojokan kamarnya. Tatapannya nanar. Terlihat sekali itu adalah pandangan kosong. Raut mukanya pun nampak sayu. Sudah cukup lama ia tak merias wajahnya meski sekedar berbedak. Tetapi itu tak akan begitu buruk seandainya ia masih peduli untuk memberi gizi yang cukup pada tubuhnya yang ramping itu. 

Tatapan itu mengarah pada barisan semut yang berlalu lalang dengan barisan yang rapi di tembok. Sesekali terlihat ada semut yang mengangkut bangkai atau bongkahan sisa makanan manusia menuju sarangnya. Seandainya Anisa tak bernapas saja barangkali semut-semut itu berpikir untuk mengangkutnya juga. Dan itulah pikiran yang terlintas di benak Anisa, bahwa dirinya hanyalah bangkai yang bernapas. 

Berulangkali ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya, namun hati kecilnya menolak. Ia masih percaya bahwa bunuh diri adalah perbuatan tercela dan termasuk dosa besar. Tetapi apa yang bisa ia lakukan selain meratap setiap kali ia mengingat peristiwa itu. Sebuah peristiwa yang menandai perubahan besar pada dirinya.

Tak ada yang menyangka putri ketiga Bapak Santoso yang dahulu merupakan orang yang periang sekarang menjadi pendiam. Sebelum dipulangkan satu bulan yang lalu, Anisa merupakan salah satu santri di sebuah pondok pesantren di pinggiran Kota J, masih satu kota dengan tempat tinggalnya. Pondok pesantren itu cukup terkenal dan memiliki ribuan santri. Ketika pertama kali masuk pesantren, Anisa bertekad untuk menjadi santri yang baik dan cerdas.

Aktivitasnya di Pondok Pesantren itu cukup padat. Mulai dari jamaah sholat tahajjud, mengaji setiap habis subuh, lalu bersekolah di madrasah aliyah sampai pukul dua siang, dilanjutkan jamaah sholat asar, lalu mengaji kitab kuning. Aktivitas di pondoknya baru selesai pukul sepuluh malam. Selepas itu ia akan belajar untuk pelajaran di sekolahnya. Aktivitas itu ia jalani sampai tahun kedua dengan penuh semangat. 

Menginjak di tahun ketiga, ketika liburan sekolah hampir usai, ia dipanggil oleh Gus Romli ke kediamannya. Anisa sedang membaca buku ketika seorang temannya meminta ia bertemu dengan Gus Romli.

Gus Romli ialah ustadz mengaji kitab kuning setiap habis sholat asar. Ia merupakan anak Kyai pengasuh pondok pesantren tersebut. Gus Romli dianggap sebagai seorang terhormat karena selain menjadi pengajar ia juga sering memberi sumbangan sosial pada anak yatim piatu dan janda. Ia juga memiliki sebuah organisasi yang membantu menangani masalah kesehatan para santri dan masyarakat pada umumnya. 

“Aku saja?”, tanya Anisa pada temannya. 

“Iya, cuma kamu. Udah sana buruan.”, jawab temannya itu. 

Dengan perasaan bertanya-tanya ia pun mengikuti perintah tersebut. Buku ia letakkan lantas menuju kediaman Gus Romli.

Sesampainya di tempat kediaman Gus Romli, Anisa mengucap salam. Salah seorang abdi dalem membukakan pintu dan mempersilahkan masuk. Ruang tamu itu cukup luas. Nampak Gus Romli tengah duduk membaca koran di tempat itu.

Seperti layaknya menghadap seorang kyai, ia berjalan menggunakan lututnya sambil menundukkan kepala. Tepat berjarak tiga meter ia berhenti dan duduk. Gus Romli yang duduk di kursi lantas melipat korannya dan memulai pembicaraan.

“Anisa, ya?”

Nggih, Gus”, jawab Anisa menggunakan Bahasa Jawa halus.

“Begini, Nduk. Kamu kan sudah mau kelas tiga aliyah. Biasanya di tahun itu para santri akan menghadapi banyak tes ujian, baik di pondok maupun di sekolah. Karena saya melihat kamu adalah santri yang pintar, saya mau memberikan ilmu saya ke kamu. Supaya ilmu ini dapat digunakan dengan baik. Nantinya dengan ilmu ini, kamu juga akan dapat dengan mudah melewati masa-masa ujian. Gimana? Gelem, yo? (mau, ya?)”, kata Gus Romli.

Nggih, Gus, purun. (Ya, Gus, mau.)”, jawab Anisa masih dengan menunduk.

“Nah, besok malam sesudah mengaji kitab sama Abah, kamu datang ke sini. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Tidak boleh ada yang tahu tentang tadi ya, cuma kamu yang dapet kesempatan itu.”

Nggih, Gus.”

“Sekarang kamu boleh kembali.” 

Nggih, Gus. Wassalamualaikum.”

Waalaikumusalam.”

Dengan masih menyimpan perasaan heran, ia berjalan menuju kamarnya. Memang ada perasaan gembira karena ia diistimewakan oleh gurunya, tetapi ia bertanya-tanya. Kenapa hanya dia sendiri yang menerima kesempatan ini? Dan kenapa pada waktu malam belajar ilmunya? Pertanyaan itu ia simpan sendiri. Karena ia ingat pesan dari Gus Romli, tidak boleh ada yang tahu tentang ini.

Malam keesokan harinya ia kembali menemui Gus Romli. 

“Sudah siap?” tanya Gus Romli.

Nggih, Gus.” Jawab Anisa yang sebenarnya tidak terlalu mengerti apa yang harus dipersiapkan. Tetapi ia telah membawa buku dan bolpoin kalau saja diperlukan.

“Ikut saya.” Ajak Gus Romli. 

Anisa mengikuti Gus Romli ke sebuah ruang kamar. Gus Romli mengajak Anisa duduk di kasur. Dengan malu-malu Anisa berjalan menuju kasur tersebut. 

“Malam ini akan kutransfer ilmuku padamu, dan kamu harus menurut apa pun perintahku. Mengerti?”, kata Gus Romli. Anisa menjawab dengan anggukan ragu.

“Bagus. Sekarang buka kerudungmu.”, perintah Gus Romli. 

“Tapi, Gus...”, ia hendak menyanggah tapi kemudian oleh Gus Romli dibalas, “Sudah menurut saja. Ini perintah gus-mu.”

Setelah itu terjadilah apa yang belum pernah ia alami sebelumnya. Sebuah hubungan seksual yang dilakukan oleh Gus Romli terhadapnya. 

Sebelum pergi, Gus Romli berkata kepada Anisa, “Sebulan sekali sampai tahun ketigamu selesai kamu kesini. Supaya ilmu yang kamu dapat sempurna. Jangan lupa datangnya di tanggal yang sama.” 

Dalam perjalanan menuju kamar pondoknya, Anisa berpikir ulang-ulang. Ia merasa ini tidak benar. Baik di pengajian maupun di sekolah ia selalu mendapat pelajaran bahwa hubungan intim di luar pernikahan adalah haram. Lalu ilmu apa yang baru diperolehnya? Apakah ada ilmu yang harus disampaikan dengan cara seperti itu?

Ia pun kembali ke kamar pondoknya. Ia tidak melihat jam berapa saat itu. Yang ia tahu semua temannya telah tidur saat ia memasuki ruang kamar.

Setelah kejadian itu, ia tidak bisa fokus dalam hal apa saja. Dia lebih sering melamun. Ia merasa dirinya telah menjadi korban perkosaan. 

Tidak tahu hendak bercerita kepada siapa, ia pun akhirnya memberanikan diri minta izin pulang dengan alasan sakit. Ia pulang dan mengadukan masalah ini kepada orangtuanya. Bapaknya marah dan akan melaporkan kasus ini ke polisi.

Esoknya, laporan yang dibuat bapaknya tidak dapat diproses oleh pihak kepolisian dengan alasan tidak ada saksinya. Akhirnya Bapak Anisa pulang dan meminta Anisa boyong saja dari pondok itu.

Ketika Anisa kembali ke pondok dan mengemasi semua barangnya, teman-teman Anisa heran. Mereka bertanya tetapi Anisa tidak menjawab apa-apa. Ia pamit memeluk teman-temannya sambil menangis.

Sebelum pamit dengan pengasuh pondok, Bapak Anisa mencoba bertemu dengan Gus Romli. Tetapi yang dicarinya tidak ada di kediamannya. Anisa dan Bapaknya lalu pamit ke Pengasuh Pondok. Ketika ditanya apa alasan Anisa boyong, Bapak Anisa pun mengutarakan peristiwa tersebut. 

Sang Kyai mendengarkan. Setelah Bapak Anisa selesai berbicara, Kyai itu pun berkata, “Baiklah kalau begitu kejadiannya. Saya akan bicara dengan anak saya. Kalau nanti ada tindak lanjut, Anda akan kami panggil.” 

Anisa dan Bapaknya pulang ke rumah mereka. Setelah itu, jadilah Anisa seperti sekarang, pendiam dan sering melamun. 

Suatu hari ia mengambil buku dan pena. Ia ingin menulis curahan hatinya di buku itu. Diberinya judul tulisan itu, “Kesucianku Direnggut di Tempat Suci”. Ia menulisnya sambil tertawa sinis lalu kembali ia menangis. 

Hampir saja ia gila kalau kelak ia tidak bertemu dengan Nur, santri seniornya yang juga korban Gus Romli. Dari Nur kemudian ia tahu, telah banyak korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh Gus Romli. Dan pihak Pondok selalu bungkam. Tentu saja, demi menjaga nama baik Pesantren yang begitu suci. 

0 Comments