Jam berapa ini? Jam tujuh lebih lima belas menit. Ah, lima menit lagi aku akan bangun. Hari ini aku bangun agak lebih awal. Biasanya jam delapan atau sembilan aku baru akan bangun tidur. Kali ini tidak, sebab apa? Karena hari ini kita akan turun aksi.

Seperti biasa ketika aku berencana ikut aksi, selain bangun lebih pagi, aku akan menyiapkan mie instan sebelum berangkat aksi. Mie instan jadi pilihan karena caranya yang praktis. Setidaknya untuk aku yang tidak terbiasa makan pagi, mie instan akan cukup menunda laparku nanti. Bahkan jika tak cukup waktu untuk merebus, aku remukkan saja mie itu, langsung dibumbui dan dimakan. Jadi semakin praktis.

Aku butuh ritual itu, karena menurut pengalaman, aksi selalu berlangsung berjam-jam, jadi siklus sarapanku yang biasanya pada jam sepuluh atau sebelas akan mundur sampai kira-kira jam satu atau dua. Dan itu sangat menyiksa. Apalagi ketika aksi membutuhkan tenaga lebih untuk berteriak dan berpanas-panasan di jalan. Aku tidak mungkin melaluinya tanpa amunisi.

Selama aku mandi, menyiapkan sarapan, dan otewe ke lokasi titik kumpul, biasanya aku mengimajinasikan bagaimana jalannya aksi nanti. Aku harus ngapain. Dan apa saja yang akan disampaikan apabila ada kesempatan berorasi. Apa jargonnya, dan lagu-lagu yang harus dinyanyikan selama aksi. Apalagi jika aku berpikir untuk membacakan puisi. Jika masih ada waktu, aku buat puisi untuk aksi tersebut. tapi jika tidak, ya terpaksa membaca karya orang lain. Ah, aku jangan sampai lupa.

Kemarin, sewaktu setting aksi, kita memutuskan untuk membuat aksi ini chaos. Bukan sok keren atau pengen nantang maut, tapi kita pikir dengan cara itulah kita akan dapat menaikkan isu ini ke media dengan mudah. Memang resikonya besar, tapi bagi kami itu bukan masalah.

Hari ini kita akan bakar ban, memblokade jalan, membentangkan spanduk, berorasi dan melakukan teatrikal. Kawan-kawan yang jadi bagian perkap sudah mempersiapkan itu semua sejak tadi malam. Aku pun ikut menyiapkan. Hanya saja tidak sampai selesai, jam satu dini hari aku pulang kos. Semoga sekarang semua sudah siap untuk aksi nanti.

Jam delapan lebih lima belas, aku ke kampus. Menemui cowok-cowok yang menginap di PKM karena menyiapkan perangkat aksi semalam. Sampai di Gedung PKM, di kantor BEM Universitas, kubuka pintu dan kudapati mereka masih tidur. Ya ampun.

Ku bangunkan mereka satu-satu. Susah juga ternyata. Mereka sudah seperti orang mati. Kulihat ada megaphone. Aku nyalakan saja sirenenya, sambil berkata,

“Kebakaran... Kebakaran... Awasss kebakaraaan....!!!”

Merekapun mulai bangun dan menyadari kehadiranku. Joni setengah sadar berkata, “brisik banget sih ta, jam berapa sekarang?”

“Bangun woy bangun.. jam sembilan nih. Jadi demo kagak?” kataku.

Rio yang jadi korlap juga gelagapan bangun setelah mendengar bunyi sireneku, “apa? Sudah aksi kah?” katanya.

Kutimpali, “bangun kau Rio, anak-anak udah pada kumpul tuh.”

Dia langsung bergegas membasahi mukanya, pake baju, dan turun ke titik kumpul dengan membawa megaphone dan sebagian spanduk. Yang lainpun mengikuti.

Sesampainya di lokasi rupanya sudah ada beberapa anak yang kumpul. Mobil polisi juga sudah parkir di  samping trotoar jalan. Terlihat bapak-bapak berseragam pramuka itu memandang kami dengan muka masam.

Semua perangkat aksi sudah siap. Spanduk berisi tuntutan-tuntutan yang ditulis dengan pilok, dan poster-poster tulisan juga sudah dibentangkan. Dengan megaphone di tangannya, Rio mulai mengajak semuanya untuk datang mengikuti aksi. Aku bilang ke Fera untuk menyiapkan konsumsi. Jam sepuluh tepat aksi kita mulai.

Seperti biasa, kita mulai dengan berdoa dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Massa yang berjumlah seratusan itu bersama-sama menggemakan jargon hidup mahasiswa, hidup rakyat, hidup buruh, hidup petani. Rutenya kita akan jalan kaki dari kampus menuju lampu bangjo di jalan raya yang jaraknya kurang lebih setengah kilometer.

Bagi yang bawa motor, harus dituntun. Dan yang tidak bawa motor bertugas bawa spanduk dan bendera. Hampir setengah badan jalan dikuasai oleh massa aksi yang terus menyanyikan lagu-lagu perjuangan mahasiswa.

Beberapa meter sebelum kita sampai polisi sudah menyuruh kami berhenti. Kami tidak boleh melanjutkan perjalanan, katanya akan mengganggu jalan raya. Massa ribut dan memaki polisi. Orator yang saat itu adalah Rio, meminta massa untuk tenang dan menyanyikan lagu untuk pak polisi.

“Pak polisi pak polisiii... beri kami senyum... Kami juga senyuum...”

Lalu orasi dilanjutkan. Kali ini Dewo anak FISIP yang orasi. Dalam orasinya ia mengatakan,

“Baru kemarin subsidi premium dikurangi, kini harga Pertalite dinaikkan sebesar 1500 rupiah. Negara semakin tidak bertanggungjawab untuk memenuhi hak rakyatnya. Bukankah seharusnya negara ada untuk mengatur harga pasar, bukan pasar yang mengatur kebijakan negara. Sekarang rakyat semakin tercekik, semua harga menjadi naik. Apakah kita akan diam saja kawan-kawan?”

“Tidak!!!” Teriak semuanya. Dewo kembali bertanya,

“Apa yang harus kita lakukan?”,

Massa menjawab, “Lawan!!!”

Dewo melanjutkan orasinya dengan,

“Siapa yang turun aksi ayo maju... Maju... Siapa yang turun aksi ayo maju... Maju... Siapa yang turun aksi mari kita lakukan, siapa yang turun aksi ayo maju...”

Serentak massa aksi maju menabrak barisan polisi yang berseragam lengkap dengan senjata pentungan dan tameng. Semakin terik dan suasanapun semakin memanas. Karena merasa tidak didengarkan himbauannya, pak polisipun langsung memukuli para demonstran. Aku yang memegang poster di barisan kedua turut mendapat pukulan. Kututupi mukaku menggunakan poster itu. Tapi pentungan polisi sudah mengenai tangan dan bahuku.

Kulihat beberapa kawan mulai membubarkan diri. Megaphone diambil alih oleh Rio. Teriakannya supaya mahasiswa tidak ikut memukuli polisi bercampur dengan teriakan mahasiswa yang mendapat pukulan. Kulihat diapun mengalami kekerasan serupa.

Setelah itu gas air mata ditembakkan ke arah kami. Mulai saat itu tak kuperhatikan lagi keadaan kawan-kawan. Aku hanya dapat berusaha agar aku sendiri selamat dari tragedi itu. Untungnya kami telah mempersiapkan pasta gigi supaya tidak perih ketika waktunya nanti mendapat siraman gas air mata.

Sial, belum juga ban kita bakar, massa aksi sudah dilumpuhkan, pikirku. Beberapa orang diangkut diatas mobil polisi, kulihat ada Joni, Rio, dan Dewo disana. setelah suasana menjadi tidak kondusif, akhirnya aku yang juga memegang megaphone meminta kawan-kawan untuk kembali ke kampus dengan cara apapun. Kuintruksikan supaya kami langsung menuju ke bawah pohon bringin tempat dimana kita kumpul sebelum berangkat tadi untuk memastikan keadaan masing-masing.

Di tempat itu, kurang lebih 70 orang masih bisa berkumpul. Lima orang ditangkap. Dan sisanya melarikan diri. Kuamati satu persatu. Kubilang agar yang lebam dan berdarah segera dibawa ke klinik. Aku sendiri merasa lenganku sakit. Tapi kutahan dan terlebih dahulu menangani kawan-kawan yang lain. Fera dan beberapa kawan perempuan memberikan minuman kepada semua yang hadir.

Fian Ketua BEM, terpaksa memimpin evaluasi untuk aksi kita tadi karena korlap masih berada di kantor polisi. Ia berharap agar apa yang terjadi hari ini bukan menjadi preseden buruk tapi menjadi sebentuk catatan bahwa kita masih memegang teguh idealisme kita untuk memperjuangkan keadilan dan membela rakyat.

“Perjuangan kita hari ini belum seberapa. Masih banyak kawan-kawan kita disana yang berjuang mati-matian supaya keadilan dapat ditegakkan. Ingat kawan-kawan, kita tadi tidak melakukan kesalahan. Menyampaikan aspirasi adalah hak kita. Aksi kekerasan dilakukan oleh pihak polisi. Sedang kita yang tidak membawa senjata apa-apa hanya bisa menerima pukulan dan untung jika bisa melarikan diri. Sekarang lima teman kita dibawa oleh pak polisi. Saya harap kawan-kawan tetap berada di barisan ini untuk membebaskan teman kita yang ada disana. Apabila sampai sore nanti mereka belum juga dipulangkan maka, kita akan bersama-sama menjemput mereka. Apa kalian setuju?”

Lalu semua serentak menjawab, “Setujuuu...!!!”

Tak lama setelah itu massa membubarkan diri. Aku dan kawan-kawan pengurus BEM masih disana untuk sekedar memaki kejadian tadi. Sakit di lenganku masih terasa. Kulepas jas almamaterku, dan kulihat lenganku. Rupanya luka memar ungu cukup besar tertato disana. Uhh...

0 Comments