RESENSI BUKU

Judul                     : Arus Balik
Penulis                 : Pramoedya Ananta Toer
Genre                   : Novel Sejarah
Penerbit              : Hasta Mitra, Jakarta
Cetakan               : V
Jumlah Hal          : 760
Resensator         : Umi Ma’rufah

Berawal dari sebuah desa di pedalaman Tuban bernama Awis Krambil, dimana saat itu seorang guru-pembicara bernama Rama Cluring sedang menceritakan masa keagungan sampai tumbangnya Kerajaan Majapahit di masa lalu kepada para pendengar. Juga segala perbandingannya dengan masa kekuasaan Adipati Tuban saat itu. Hadir pula sepasang kekasih yang kemudian mempercayai dan mengikuti ucapan sang guru-pembicara itu. Mereka adalah Galeng dan Idayu.

Galeng dan Idayu menjadi tokoh penting ketika mereka dinikahkan oleh Sang Adipati di Tuban Kota setelah masing-masing menjuarai ajang gulat dan tari tiga kali berturut-turut. Tentu hal itu terjadi sesudah penolakan Idayu menjadi selir raja, yang menurut adat, juara tari berturut-turut mestinya diangkat menjadi selir raja. Setelah itu berlanjutlah kisahnya pada pengabdian kepada Sang Adipati Tuban, Arya Tumenggung Wilwatikta. Galeng yang kemudian menjabat sebagai Pengawal Syahbandar Tuban mendapat panggilan Wira Galeng dan dengan sendirinya menjadi Wiranggaleng berdasarkan lidah orang jawa.  Sejak saat itulah ia mulai bergumul dengan persoalan kerajaan, perang, dan perjuangan melawan Peranggi (Portugis). Cita-citanya hanya satu memanggil kembali kejayaan dan kebesaran pada guagarba haridepan sebagaimana pesan Rama Cluring sebelum meninggal.

Novel arus balik yang merupakan epos pasca kejayaan Nusantara ini sepenuhnya bercerita tentang kondisi orang-orang dan kerajaan pada masa sebelum dan sesudah Peranggi menginjakkan kaki di bumi Jawa. Bukan hanya masalah perlawanan terhadap kedatangan Peranggi, novel ini juga bercerita tentang perselisihan antar kerajaan bahkan kelompok yang dipengaruhi oleh keyakinan agama yang dianut. Seperti Blambangan dan Pajajaran dengan agama Hindu-Buddhanya yang memusuhi Demak yang Islam sehingga kemudian memilih bersekutu dengan Peranggi dengan harapan bisa melawan Demak bersama-sama. Sebagian besar kisah ini diwarnai intrik dan pengkhianatan yang terjadi di Jawa. 

Beberapa tokoh yang termasuk antagonis adalah Rangga Iskak, Syahbadar Tuban yang berganti sebutan Sunan Rajeg setelah dicopot dari jabatannya dan mengkhianati Adipati Tuban. Yang tak kalah jahatnya adalah Sayyid Habibullah Almasawa atau Tholib Sungkar Az-Zubaid atau Sayid Mahmud Al-Badaiwi, bekas Syahbandar Malaka yang kemudian menjadi Syahbandar Tuban setelah Malaka jatuh ke tangan Peranggi. Sifatnya yang bermuka dua terhadap Adipati Tuban dan Pembesar Peranggi, pengkhianat, pembunuh sadis, dan pembohong besar menjadikan ia sebagai musuh setiap orang di Tuban, bahkan sebagian orang Peranggi juga membencinya. Pembaca tentu akan lebih terbawa pada arus kebencian pada orang yang satu ini jika membaca novel ini. Dan yang menjadi pangkal kegagalan Wiranggaleng untuk mengembalikan kejayaan pada guagarba haridepan adalah Sultan Trenggono yang bernafsu untuk menguasai Jawa. 
 
Penyerbuan yang dilakukan Demak kepada setiap kerajaan di Jawa itu telah membuat hancur kepercayaan setiap raja untuk mau menggabungkan kekuatan menggempur Peranggi. Terlebih lagi pengkhianatannya untuk menyerang Peranggi di Malaka telah memuakkan raja-raja bahkan di luar Jawa sana. Padahal Wiranggaleng sebagaimana Adipati Unus sebelumnya percaya bahwa perlawanan menghadapi Peranggi hanya bisa dicapai melalui kesatuan Nusantara. Dan kesatuan nusantara hanya bisa diusahakan oleh raja yang bijaksana dan kerajaannya yang kuat. Hal itu pernah dicontohkan oleh Ken Arok dengan Singosarinya, dan Majapahit yang melahirkan Gajah Mada (Hal. 747). Demak adalah kerajaan yang kuat pada waktu itu, sayang kekuatannya digunakan untuk memusuhi tetangganya sendiri. 

Meskipun Wiranggaleng telah mampu memimpin kemenangan melawan Peranggi di Tuban namun baginya hal itu belumlah seberapa. Selama Peranggi belum terusir dari Selat dan Semenanjung, belum terusir dari Malaka dan Pasai, urat nadi kehidupan Tuban, Jawa dan seluruh Nusantara tetap berada dalam kekuasaan mereka (Hal. 741). Ketidakberdayaan menghadapi situasi tersebut menyebabkan Wiranggaleng putus asa untuk bisa mewujudkan cita-citanya memanggil kembali kejayaan dan kebesaran pada guagarba haridepan. Ia bersama Idayu dan anaknya Kumbang memilih menjalani kehidupan yang sederhana sebagaimana dicita-citakannya dahulu, sebagai petani desa yang jauh dari hingar bingar kota dengan segala persoalannya. 


Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai sosok penulis yang sangat produktif dalam melahirkan karya-karya terutama yang berjenis historis fiktif. Keahliannya dalam meramu kata dan alur cerita membuat pembaca seakan tak mau berhenti ketika sudah mulai membaca karyanya. Arus Balik adalah satu dari sekian karyanya yang mampu memberikan imajinasi pada para pembaca terhadap situasi nusantara jauh di masa lampau. Pram memperlihatkan pada pembaca bahwa bangsa kita pernah berjaya melalui penguasaan lautnya. Dimana arus yang tadinya bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin, berbalik dari utara ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul dibanding Nusantara.

Buku dengan tebal 760 halaman ini tentu saja tak mudah diringkas dalam hanya beberapa lembar resensi. Sebab segala sudut yang tertulis pada buku ini hendaknya tidak dilewatkan apabila ingin mendapatkan gambaran utuh mengenai setiap peristiwa yang diceritakan. Untuk itulah tulisan ini sekedar ingin memantik pembaca untuk tertarik membacanya sendiri sampai tuntas. Sampai kemudian memahami bahwa kita perlu merefleksikan situasi saat ini melalui kacamata sejarah, dapatkah kebesaran dan kejayaan itu dikembalikan dan arus kembali berbalik?

0 Comments