Malam itu aku tengah bersiap untuk pergi ke Kendal untuk mengikuti acara tasyakuran rakyat atas dibebaskannya Kiai Nur Aziz dan Mbah Sutrisno Rusmin. Berdasarkan rencana, kita akan berangkat setelah Fathan selesai ngajar ngaji. Kira-kira jam delapan. Karena belum ada kabar akan berangkat jam berapa tepatnya, aku WA Fathan. Kutanyakan siapa saja yang ikut dan kapan kita berangkat. Katanya, nunggu Ajid ngaji. Oke, aku WA Ajid. Jam 9 dia baru akan turun dari Mijen. Huff, masih agak lama dong. Pada jam itu aku sudah ngantuk tapi tidak bisa tidur karena menunggu kepastian. Ternyata, sampai Ajid sudah di Purwoyoso, masih harus menunggu Fathan yang belum selesai ngajar ngaji. Akhirnya, jam sepuluh aku tinggal tidur saja.

Jam sebelas, Momon membangunkanku. Katanya, dicari Fathan. Dia di depan. Dengan muka bantal dan masih ngantuk, aku keluar dan mendapati ia bersama Dera di luar. Perasaan kesel karena menunggu lama, dan keraguan berangkat larut malam, membuatku terdiam sambil berpikir. Dia kesini sama Dera, berdua saja. Lha aku sama siapa? Aku masih berpikir, apa aku bakal sendiri nyetir motor malam-malam begini? Agak cukup lama aku duduk, lalu memastikan padanya mengenai siapa saja yang ikut. Ada Majid, Ajid, dan Kopet. Kukira Kopet sendiri, jadi aku bisa bareng dia. Setelah aku selesai menyiapkan diri ternyata orangnya ganjil. Aku tidak mau tidak ikut. Ya sudah, dengan berat hati aku menyetir motor sendiri. Aku cuma berharap, semoga aku gak ngantuk dan bisa tahan dengan dingin.

Sampai di depan kampus satu, tempat kita kumpul, Fathan nyuruh Dera ikut aku, aku gak tau maksudnya apa. Ada gak ada Dera di belakangku sebenarnya tak ada pengaruhnya. Tapi ya sudah, mungkin supaya aku ada temannya kalau-kalau kesasar atau tertinggal nantinya. Kita berangkat kurang lebih pukul 23.30 WIB.

Jalanan cukup lengang, dan angin malam dingin seperti sebelumnya. Wajar saja, cuacanya memang sedang berangin. Untungnya aku pakai jaket, sarung tangan, dan masker. Jadi dinginnya tidak terlalu menusukku. Angin baru terasa dingin ketika kita sudah memasuki area hutan menuju Pageruyung. Hal itu karena sepanjang perjalanan gelap, dan kaca helmku buram, jadi aku harus membuka helm untuk perjalanan kurang lebih setengah jam. Angin yang menerpa wajah membuat pedas di mata.

Di tengah perjalanan itu pun terjadi kecelakaan kecil. Fathan yang berboncengan dengan Kopet hampir saja masuk jurang karena kurang memperhatikan tikungan. Aku yang di belakangnya pas sempat kaget dan menjerit. Untung saja mereka dan motornya tidak apa-apa. Cuma lecet-lecet. Sesampainya di rumah Kiai Nur Aziz, baru kita tahu Kopet agak kesakitan di kakinya. Lalu aku bilang ke Dera, ‘Untung kamu sama aku Der’. Sontak Dera pun ketawa cekikikan.

Kita sampai di rumah Kiai Aziz kira-kira pukul 01.00. Lega sekali akhirnya bisa menyenderkan badan. Di sana sudah terpasang panggung dan tratak. Para bapak masih banyak yang melek. Pun dengan ibu-ibu yang masih ramai bekerja di dapur. Sungguh aku sangat salut dengan mereka ini. Benar kata Mak’e, jiwa gotong royong/sambatan di kampung ini masih sangat kuat.

Di sana kita bertemu Mas Gopang yang lebih dulu sampai. Ia berangkat bersama Hana, anak magang WALHI. Setelah makan dan ngobrol, kita tidur. Paginya, ketika sound sistem acara mendendangkan lagu dangdut, semuanya bangun dan menyiapkan diri.

Usai mandi, aku, Dera, dan Hana ikut membantu ibu-ibu menyiapkan sajian makanan. Kemudian kita ikut menyambut tamu di depan. agak lama kita berdiri. Sampai acara dibuka, kami memutuskan untuk ikut dalam barisan jamaah yang duduk.

Acara dibuka oleh Fathan yang jadi MC. Lalu sambutan-sambutan. Kiai Aziz dan Mbah Rusmin bercerita soal kronologi bagaimana mereka berjuang sampai dibui. Kawan-kawan mungkin sudah banyak yang tahu dan membaca mengenai kasus sengketa lahan antara warga Surokonto Wetan dengan PT. Perhutani. Kiai Aziz mengatakan bahwa menurut tutur sesepuh, warga di sini sudah menggarap lahan yang saat ini diakui PT. Perhutani sejak 1967. Tanah yang dikuasai negara itu disewakan dengan status HGU kepada PT. Sumurpitu.

Singkat cerita, perusahaan ini kemudian menjualnya ke Semen Indonesia untuk diserahkan ke PT. Perhutani. Alhasil, tahun 2016 warga berhadapan dengan Perhutani lantaran tanah seluas 127 hektar itu telah puluhan tahun menjadi sumber penghidupan warga di sana. Perlawanan warga berujung pemidanaan Kiai Aziz dan Mbah Rusmin atas tuduhan pendudukan hutan, pembalakan liar, dan pengerahan massa untuk melawan PT. Perhutani. Sidang demi sidang memutuskan pada Maret 2017, mereka divonis penjara delapan tahun dan denda 10 miliar. Sampai kemudian pada 17 Mei lalu, mereka dibebaskan karena grasi yang diajukan bersama para aktivis dan organisasi yang mendampingi dikabulkan oleh Presiden.

Sambutan kedua dari Mas Isnur dari YLBHI Jakarta sebagai perwakilan para aktivis dan organisasi yang telah mendukung upaya grasi. Pada acara ini, Ibu Alissa Wahid yang menjadi koordinator Jaringan Gusdurian juga turut hadir memberi sambutan. Beliau sampaikan bahwa apa yang kita semua lakukan ini merupakan upaya melanjutkan spirit perjuangan Gus Dur dengan puncak perjuangannya yakni kemanusiaan.

Beliau bercerita, ketika ditanya sebenarnya Gusdurian ini tujuannya apa sih? Beliau mengatakan, “Dulu Gus Dur itu selalu mengajak anak muda untuk membela keadilan, salah satunya ya Kiai Imam Aziz ini. Kita pengennya bisa begitu. Semoga di Surokonto Wetan akan muncul anak muda yang akan memperjuangkan rakyat Indonesia.”

PBNU pun menjadi salah satu yang ikut memperjuangkan grasi. Kiai Imam Aziz selaku ketua Tanfidziyah mengatakan bahwa ia sungguh heran, bagaimana Indonesia yang tanahnya subur, tongkat dan kayu jadi tanaman, kekayaan alam melimpah, tetapi masyarakatnya hidup sengsara. Padahal UU telah menjamin bahwa bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

Kata beliau, “Makna menguasai di sini tidak berarti memiliki, maka salah kalau orang bilang, tanah ini dimiliki oleh negara. Negara hanya bisa mengatur. Ini sama dengan sabda Nabi. Sahabat pernah bertanya ketika habis perang, Ya Rasul bagaimana ini status tanah kita? Jawabnya: kita tidak memiliki tanah ini, yang mempunyai adalah Allah SWT. Kita hanya mengatur.” Kiai Imam Aziz juga menyatakan bahwa tanah garapan Surokonto Wetan ini secara syar’i sudah sah karena sudah digarap lebih dari 20 tahun. Hal itu sudah sesuai dengan UU Pokok Agraria.

Pada akhir tausiyah beliau mengajak jamaah untuk berdoa dengan doa yang pernah diucapkan oleh Nabi Ibrahim sewaktu di Makkah bersama istri dan anaknya Ismail. Doanya ialah: ‘Ya Allah saya tempatkan anak keturunanku di padang pasir tanpa ada tanaman di sekitarnya di sekitar Ka'bah (Masjidil Haram). Ya Allah semoga seluruh anak keturunanku tetap menjalankan sholat. Dan jadikanlah hati orang-orang sedunia senang dengan keturunanku. Dan berilah rezeki kepada mereka berupa buah-buahan supaya mereka bersyukur.’ Kiai Aziz mengandaikan apabila Nabi Ibrahim di sini doanya pasti tidak begitu. Barangkali ia akan berdoa, ‘Ya Allah semoga masyarakat Surokonto Wetan memiliki hak untuk tanah dan mengelola tanahnya sehingga mereka mendapatkan kesejahteraan dan bisa mendidik anak keturunannya untuk menjalankan ibadah dan membangun negeri ini sebaik-baiknya.’

Yang terakhir adalah tausiyah dari Gus Yahya C. Staquf, selaku Wantimpres dan Katib Rais Aam PBNU. Beliau cukup ramah dan lucu. Dalam kesempatan itu, beliau memberi tausiyah yang sangat penting bagi para jama’ah. Di antaranya adalah bahwa setiap orang punya dalilnya sendiri. Dalil untuk istri misalnya, menghormati suami. Dalil untuk laki-laki adalah surga di telapak kaki ibu. Dalil pemimpin adalah menegakkan keadilan dan mengayomi kaumnya. Dan dalil untuk rakyat adalah menghormati pemimpinnya. Ada tiga hal yang tidak boleh disepelekan. Yang pertama adalah ulama’. Kedua Umara’ (pemimpin), ketiga asdiqa’ (teman akrab). Beliau juga berpesan, orang itu harus punya azzam (keinginan/cita-cita). Harus bisa mengingat dan menghargai karep.e (kehendak) orang lain. Harus tau tempat dan jatahnya masing-masing. Harus percaya sama takdir.

Tentang takdir, Gus Yahya bercerita bahwa beliau saking pusingnya memikirkan kondisi dunia saat ini, pergi ke Madinah dan berencana untuk bertanya kepada Habib Syaikh Zen bin Smith Ba’alawi, apakah dunia ini sudah waktunya kiamat? Namun belum sempat beliau tanya, Sang Habib ternyata sudah mengetahui pertanyaan tersebut. “Jadi benar bahwa Al-Mukminun mir’atu akhihi, orang beriman adalah cermin bagi saudaranya. Habib Zen ini adalah orang yang hatinya bersih seperti kaca.” Katanya.

Kemudian beliau melanjutkan cerita. Habib Zen dalam ceramahnya mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini terjadi karena takdir dari Allah SWT. Termasuk kiamat. Tetapi takdir baru kita ketahui setelah terjadi. Karena tidak tahu bagaimana takdir kita, makanya kita diwajibkan untuk berikhtiar. Orang kalau ikhtiarnya cocok dengan kehendak Allah berarti takdirnya tepat. Karena takdir tidak lepas dari kehendak Allah maka orang tidak boleh lupa pada-Nya. Ikhtiar harus dibarengi dengan dzikir. Sebab kalau orang tidak punya dzikir maka ia tidak akan punya keberanian. Orang berdzikir akan selalu khusnudzon sama Allah, itu yang menumbuhkan keberanian. Yang dimaksud dengan dzikir adalah wirid. Wirid yang paling mudah dan ampuh adalah sholawat sebanyak 200 kali setiap habis sholat. “Saya berkata begini karena mengalami sendiri”, kata beliau.

Tentu pesan tersebut sangat penting untuk kita semua, terutama warga Surokonto Wetan yang masih akan terus memperjuangkan hak atas tanahnya. Usai tausiyah dan doa dari Gus Yahya, acara ditutup dengan potong tumpeng dan makan bersama. Sungguh senang dan bahagia sekali aku sebagai yang bukan siapa-siapa dapat turut menghadiri dan mengikuti serangkaian acara yang keren ini. Bertemu tokoh nasional dan mendapat asupan rohani yang sangat menyejukkan. Semoga dengan ini warga Surokonto Wetan semakin solid dan kuat dalam berjuang, pun dapat turut mendukung perjuangan sesama petani dan warga negara Indonesia di manapun.

0 Comments