Petang itu seorang bapak berusia setengah abad lebih baru saja pulang dari tempatnya bekerja, sawah. Ia kemudian bersiap menuju mushola untuk melaksanakan sholat jamaah Maghrib. Ia adalah ketua RT di kampungnya, dan memang sudah menjadi rutinitasnya ketika waktu sholat tiba, terutama saat subuh, magrib, dan isya, ia akan pergi ke mushola. Seringkali ia menjadi muadzin sekaligus imam sholat disana. Dengan berjalan kaki, kurang lebih 100 meter ia menuju mushola tersebut.

Ketika itu, di tengah kemacetan beberapa pemuda bermodalkan ceting terlihat sedang meminta pajak jalan kepada para pengendara di dekat sebuah pertigaan kampung yang juga dekat dengan mushola tersebut. Karena ia merasa tidak baik meminta di jalan ketika waktunya sholat maghrib, iapun menghampiri para pemuda itu dan menegur, “Kalian kenapa masih disini? Ayo sholat maghrib” katanya. Sambil berlalu, para pemuda itu hanya diam saja mendapat teguran.

Memang sudah seminggu ini kemacetan luar biasa terjadi di sepanjang jalan raya daerah kampung tersebut. Kemacetan itu terjadi karena ada perbaikan jembatan besi yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari kampung. Akibat kemacetan itulah maka jalan desa yang tepat berada di depan rumah juga ikut ramai oleh kendaraan yang menjadikan jalan itu sebagai jalan pintas. Bukan hanya kendaraan bermotor tapi juga kendaraan umum seperti bus, dan juga truk-truk ikut melintasi wilayah tersebut. Keadaan seperti ini memang cukup mengganggu terutama bagi masyarakat sekitar. Tetapi begitulah faktanya, kemacetan pasti membuat orang ingin mencari jalan pintas agar cepat sampai tujuan, bukan?

Usai sembahyang Maghrib, bapak itu kembali ke rumahnya sambil mengelus dada karena melihat para pemuda itu masih saja disana. Diapun membiarkan saja, karena waktu sholat magrib masih ada, barangkali sebentar lagi mereka akan pulang, pikirnya. Sepanjang jalan ia berpikir, ‘mengapa pemuda yang masih sanggup bekerja itu seharian hanya meminta orang yang lewat? Apa mereka tidak malu?’ Itulah pertanyaan yang melintas di benaknya. Tapi yasudah, pikiran itu ia pendam.

Azan isya berkumandang. Si bapak kembali menuju ke mushola untuk berjamaah. Dan ternyata para pemuda tadi masih ada disana. Bapak itu menghampiri mereka dan berkata, “Kalian kenapa masih disini?” salah seorang diantaranya menjawab, “Buat keamanan kok pak”. Sebagai seorang Ketua RT ia merasa perlu peduli terhadap para pemuda ini. Ia berniat memberi imbalan untuk jasa keamanan mereka usai sholat Isya nanti, tentu juga berharap agar mereka mau untuk segera pulang.

Maka iapun mendatangi kembali para pemuda ini dan memberi uang 50 ribu sambil berkata, “ini kalau memang untuk keamanan saya tambahi”. Bukan hanya pemuda yang ada di pertigaan itu, pemuda lain sejauh itu masih di wilayah RT nya juga diberi imbalan yang sama. Setelah itu ia langsung menuju ke rumah tetangga untuk tahlilan karena ada yang meninggal.

Kurang lebih pukul 22.00 WIB, ia pulang. Dengan mengendarai motor ia melintasi jalanan yang sudah cukup lengang. Di pertigaan ia melihat para pemuda itu berkumpul. Tanpa menghiraukannya, si Bapak lewat begitu saja. Tak lama sesampainya di rumah, para pemuda tadi datang bersama sanak familinya. Semuanya  laki-laki berjumlah sekitar 8 orang. Mereka meminta si Bapak untuk keluar rumah dengan keras dan disertai ucapan makian. Tanpa mengetahui masalahnya si Bapak lantas keluar dan menemui para pemuda tersebut.

Seorang pemuda mengucapkan kata-kata kasar sambil mengatakan tidak terima atas pemberian uang si Bapak, “Silahkan kalau kalian mau memukul, saya tidak bersalah.“ kata si Bapak. “Dasar kyai asu... Gak kapok kamu kalau belum mati!” teriak salah seorang yang lebih tua dari rombongannya yang juga merupakan bapak dari pemuda tadi. Sambil meraih kerah baju si Bapak ia dorong sampai mengenai pagar besi depan rumah. Tidak ada yang membela si Bapak. Sang istri yang ketakutan hanya mampu bertahan di dalam rumah. Akhirnya merekapun pulang.

Kejadian itu membuat si bapak tidak habis pikir, apakah ia salah memberikan imbalan untuk mereka? Lagipula bukankah mereka yang justru salah karena meminta sesuatu yang seharusnya tidak menjadi haknya? Perasaan itu ia pendam, namun ia tetap tak bisa membiarkan kejadian ini tidak terselesaikan. Ia ingin mengajukan masalah ini ke pemerintah desa. Ia tidak berkeinginan memenjarakan para pemuda ini. Ia hanya ingin mereka mau meminta maaf dan tidak lagi meminta-minta di jalan.

Saat ini si bapak masih menunggu panggilan dari Desa untuk diadakan mediasi. Iapun akan mengupayakan agar desa membuat aturan untuk melarang pungutan liar seperti yang terjadi waktu kemacetan. Selama ini memang kemacetan dimanfaatkan oleh mereka yang ingin mendapatkan uang tanpa mau bekerja keras. Lagipula uang yang didapat sama sekali tidak digunakan untuk kebaikan jalan desa, tidak ada yang disumbangkan, semuanya masuk kantong pribadi. Padahal jalan itu toh bukan di depan rumahnya.

Suatu hari anaknya pulang. Ketika si anak bilang, “memang pungli sering dilakukan dimanapun, apalagi ketika macet”, tanggapan bapaknya, “kalau kesalahan dibiarkan terus maka kesalahan itu akan dibenarkan”. Si anak hanya tersenyum mendapati jawaban tersebut. Ia bangga punya bapak yang berani menentang sesuatu yang salah di depan matanya.

Si Anak berpikir, ada begitu banyak kesalahan dan kekeliruan terjadi di kehidupan kita, sekecil dan sebesar apapun. Apa yang dialami bapaknya mungkin juga banyak dialami oleh orang-orang diluar sana yang memperjuangkan kebenaran. Dari mulai yang dekat dengan diri kita, di lingkungan masyarakat, sampai permasalahan pelik dalam skala nasional maupun internasional. Tetapi yang jelas, mereka semua butuh pembelaan dan dukungan. Baginya, semua orang yang memperjuangkan kebenaran adalah juga pahlawan. Maka berdasarkan pengakuannya, si Bapak ini adalah pahlawan yang patut diteladani keberaniannya.

0 Comments