Kemarin aku nonton Bumi Manusia, film yang baru tayang serentak di bioskop pada hari itu. Kebetulan kemarin aku lagi di Jakarta, lalu diajak sama Gus Azka dan Mas Habibi. Kita ketemu di TIM dan nonton di bioskop sana. 

Diawali dengan menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan penonton disuruh berdiri. Aku membatin, kenapa harus ada begini? Lebay. Tapi okelah, enggak berdiri juga gapapa, ga ada yang marahin. 

Sepanjang aku nonton film itu, pikiranku penuh perbandingan, baik dengan sisa ingatanku tentang Novel Bumi Manusia (sebab lama tak membacanya lagi) atau dengan review yang kubaca dari Mojok dan Historia. Tentu saja kenikmatan membaca novel yang membuat kita bebas berimajinasi berusaha mencocokkannya dengan visualisasi film Bumi Manusia. 

Menurut penilaianku, secara karakter dan penjiwaan para pemain film Bumi Manusia lumayan ngena. Kecuali Maiko yang dalam film diperankan mirip orang gila (suka ketawa), saya lupa-lupa ingat apa di buku Maiko begitu? Kok aneh sih.  

Meski penggunaan Bahasa Belanda cukup dominan, tetapi penggunaan Bahasa Indonesia baku dalam film itu cenderung membawa suasana cerita ke masa kekinian. Dan seperti terbawa suasana Indonesia saat ini, film ini malah terkesan bukan pada zamannya (abad 19). Hal itu terasa ketika adegan demo-demo protes yang dilakukan masyarakat mayoritas muslim di depan pengadilan dengan pakaian serba putih dan pekikan 'Allahuakbar', Kupikir sepertinya itu sekedar improvisasi dari Hanung sebab seingatku tak ada di novelnya. 

Lalu soal penjemputan Annelies yang penuh drama. Di film, Annelies dijemput oleh opsir Belanda  dengan paksa. Diawali dengan pertarungan antar warga yang membela Nyai dan yang mendukung Belanda sampai jatuh korban. Lalu Nyai dibentak-bentak oleh opsir kasar itu. Seolah aneh saja cara penjemputannya. Apa di novel seperti itu? Ingatan saya belum dapat membenarkannya. 

Nah soal perbandinganku dengan hasil review Historia, pertama, terkait penggunaan nama Tirto Adhie. memang nama Tirto Adhie dalam novel tidak pernah disebutkan. Adapun penggunaan nama ini di film hemat saya juga improvisasi aja dari Hanung. Tidak masalah. Soalnya nama Minke itu kan julukan. Masak dalam surat resmi dan keluarga juga memakai nama itu? Kan kesannya nggak mungkin. Maka dipakailah nama Tirto Adhie, meski pembaca/penonton juga mesti paham Tirto Adhie di sini tidak melulu merujuk ke nama Tirto Adhie Soerjo yang ada di Sang Pemula-sehingga dapat dianggap sebagai film biografi. Toh Pram juga sempat menggunakan inisial T.A.S (entah di novel yang ke berapa) untuk menyebut Minke, yang saya terka sebagai singkatan dari Tirto Adi Soerjo.

Saya sepakat dengan Randy, pereview film Bumi Manusia di historia.id, soal properti yang agak lucu. Seperti seragam polisi Belanda yang mirip serdadu security dengan senapan mirip Arisaka - senapan khas Jepang dengan topi lebar bak serdadu muskeeter dari Perancis. Seragam opsir Belanda-nya pun justru nampak seperti baju koko. Nah ditambah, yang paling aneh menurut saya, ada beberapa opsir yang bukan Belanda tapi pribumi. Coba perhatikan para opsir yang menghadang Dokter Martinet untuk masuk ke halaman rumah Nyai, mereka muka-muka Jawa dengan postur yang standar. 

Hal lain yang bagiku agaknya kurang tepat, May, putri Jean Marais, terlihat selalu memainkan boneka dan membawanya ke mana-mana seperti orang gila. Haha. Dan Annelies, kenapa dia harus membawa setangkai bunga mawar? Pertama waktu muncul menuju teras, kedua saat akan pergi ke Amsterdam. Ya aneh saja. Terlalu mengada-ada.

Refleksiku dari difilmkannya Novel Bumi Manusia yang mungkin debatable, adalah terkait visualisasi kecantikan macam apa yang dimiliki oleh Annelies. Kecantikan inilah yang menjadi fokus daripada film Bumi Manusia. Kontruksi pikiran kita tentang makna 'cantik' akan langsung terbangun oleh citra Annelies. Para perempuan, terutama bagi anak muda akan dibuat iri dengan Annelies (Mawar De Jongh) yang memang cantik secara fisik. Apalagi baik Minke maupun Robert Suurhof jatuh cinta pada Annelies karena melihat rupanya kan? Definisi cantik yang terwujud dalam rupa seorang Annelies agaknya semakin mengecilkan definisi cantik selain itu. 

Over all, film ini memang cocok banget buat kaum milenial yang gandrung dengan kata bucin. Mungkin lebih baik tidak hanya nonton filmnya, tapi baca juga novelnya. Dan kalaupun baca, jangan cuma Bumi Manusia, karena tiga buku selanjutnya lebih seru dengan perkembangan intelektual dan gerakan Minke yang bukan soal percintaan an sich. Lebih menarik lagi karena belum difilmkan. Hehe.

0 Comments