Minggu, 29 November 2020. Pagi pukul 5 aku dan Dabuy sudah berada di kantor Walhi Eknas. Di situ kami menemui bang Farid. Rencananya kami bertiga akan bertolak ke Pulau Pari hari ini. Omong-omong, ini adalah kunjunganku yang pertama ke Pulau Pari, setelah berkali-kali diiming-imingi Rere dengan foto-fotonya di Pari yang indah sekali, namun belum sempat juga ia mengajakku ke pulau ini.

Sebenarnya bisa dibilang di sini aku cuma ikut-ikutan, sebab yang mempunyai agenda kerjaan adalah bang Farid dan Dabuy. Aku tergiur untuk ikut ketika pukul tiga pagi itu tiba-tiba Dabuy datang ke mess. Dia bilang mau ke Pari nanti jam 5 bareng bang Farid. Setelah aku banyak bertanya seputar agenda apa berapa lama siapa saja, aku pun memutuskan untuk ikut. Meskipun katanya, ongkos mesti kutanggung sendiri, bagiku tidak masalah. Asal keinginanku ke sana dapat terwujud.

Dan pagi itu kami pun tetap terjaga. Takut seandainya tidur nanti kebablasan. Padahal si Dabuy baru saja balik dari Bogor. Dan aku baru saja menyelesaikan episode 4 drama Korea berjudul “Prison Playbook”. Pukul 04.30 WIB aku langsung bersiap mengepaki barang yang diperlukan. Begitu kami sampai di Eknas, Dabuy memintaku memesan mobil grab. Kupikir kita akan langsung berangkat setelah mobil itu datang. Ternyata tidak. Bang Farid masih ada perlu ke ATM lah, ke WC lah, lalu Dabuy yang lupa mencetak daftar hadir, jadi harus ke belakang dulu untuk ngeprint. Paling tidak satu jam kemudian, pukul 06.30 WIB kita baru berangkat.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke Pelabuhan Kaliadem, Muara Angke, sebab jalanan pada minggu pagi itu cukup lengang. Setelah turun dari mobil, bang Farid menunggu di pintu masuk, sementara aku dan Dabuy ke loket untuk membeli tiket kapal. Di sana ada dua loket, satu adalah loket untuk kapal tradisional, dan satu lagi kapal dinas perhubungan (dishub). Kami memilih mengantre di bagian loket dishub. Karena selain lebih cepat, konon harganya pun lebih murah. Dibutuhkan KTP untuk membeli tiket, maka sambil menunggu antrean kami kumpulkan KTP masing-masing.

Sayang sekali, begitu antrean sampai ke kami, tiket dishub ke Pulau Pari hanya tersisa satu. Terpaksa kita beralih ke kapal tradisional. Total biaya tiket untuk tiga orang adalah Rp 201.000. Aku sama Dabuy sempat heran, kok ganjil banget sih, 201 ribu gimana dibagi tiganya? Kataku. Lalu pas kulihat tiketnya tertera harga di situ Rp 67.000. Dan memang ketika angka itu kukalikan tiga hasilnya benar 201.000. Wah baru tahu aku ada angka seganjil ini.

Kapal dijadwalkan berangkat pukul 08.00 WIB, kurang lebih 45 menit lagi. Kami pun menunggu sambil duduk di teras dermaga. Tidak disangka pak RT warga Pulau Pari menghampiri dan menyapa kami. Ternyata ia juga akan menaiki kapal yang sama. Maka kami pun bersama-sama menghabiskan waktu untuk menunggu keberangkatan kapal. Sambil minum kopi dan teh, roti dan umbi-umbian yang dibawa pak RT, kami duduk lesehan dan bercerita banyak hal. Dari tentang kenapa bang Farid lama tidak berkunjung ke Pari, kenapa nomornya tidak aktif, sampai bermacam-macam umbi-umbian yang kita kenal baik di Jawa maupun di Pulau.

Waktu menaiki kapal pun tiba. Kami masuk dan duduk di kursi yang berderet di tengah. Dabuy bilang perjalanan ini akan memakan waktu dua jam. Ia juga sempat mengingatkan, “Nanti jangan mabuk ya!” dan aku bilang, “tenang, aku orangnya tidak gampang mabuk kok”. Padahal aku sendiri tidak tahu seperti apa rasanya dua jam terombang-ambing di atas kapal begini. Tapi karena kupikir waktu dua jam itu akan kuhabiskan untuk tidur, maka aku pede saja bilang tidak akan mabuk.


Kapal tradisional itu hanya terisi beberapa orang sehingga masih banyak kursi yang kosong. Memang betul, begitu kapal akan jalan aku sudah membaringkan tubuhku di deretan kursi itu dan tidur. Namun, tidak sampai dua jam kemudian aku bangun. Sebenarnya tidurku tidak begitu nyenyak, karena ayunan ombak dan suara kapal yang cukup keras agak menggangguku.

Begitu bangun, aku melihat-lihat sekeliling. Kupandang laut yang sungguh luas berwarna biru. Aku berdiri menuju jendela dan kulihat air di bawah, putih seperti busa atau awan. Aku juga sempat berjalan ke belakang, melihat laut dan Kota Jakarta yang sudah mengecil. Di belakang ternyata ada toilet. Pas sekali aku sedang kebelet. Pintu toilet kugeser dan aku puaskan diri di dalam sana. Sensasinya sungguh luar biasa. Kencing sambil terombang-ambing. Ngeri-ngeri sedap. Hahaha.


Setelah dari toilet aku duduk lagi di kursi. Lama-lama aku merasakan sesuatu yang tidak enak di perut dan dadaku. Kepalaku tidak pusing, tapi aku merasa mual. Dabuy yang juga bangun lalu duduk di jendela sempat kuberitahu. Namun, karena suara kapal yang nyaring, dia tidak mendengarkan keluhanku. Barulah ketika kapal bersandar ke dermaga dan kita turun aku bilang ke dia kalau aku ingin muntah. Dia pun mencarikan tempat di mana aku bisa mengeluarkan isi perutku. Ia juga mengulurkan freshcare supaya perutku agak enakan. Huh, lega ketika apa yang sedari tadi menggangguku sudah kubuang.

Dari dermaga kami berjalan sampai ke pantai Perawan bersama Engkong Samad, sesepuh di Pulau Pari. Sepanjang perjalanan itu bang Farid dan Dabuy banyak menyapa dan disapa orang-orang yang kebetulan di teras rumah, atau di depan warung. Aku yang tidak mengenal mereka hanya bisa ikut bersalaman dan melempar senyum. Maklum, baru kali ini bertemu warga Pulau Pari di rumah mereka. Sebelumnya aku hanya bertemu dan mengenal satu dua orang dari Pari kala kita berada di satu acara atau di dalam aksi yang sama. Seperti teh Aas yang kukenal ketika acara Perempuan Tolak Tambang di Sidoarjo dua tahun lalu. Lalu bang Buyung dan Mpok Atik yang tiga kali bertemu waktu aksi tolak Omnibus Law baru-baru ini.

Di warung yang tepat berada di pesisir pantai itu kami beristirahat sejenak. Bang Farid dan Dabuy memesan mie instan, kopi, dan es teh, sementara aku hanya memesan susu jahe. Melihat Dabuy dan Bang Farid makan mie instan rasanya akupun ingin, tapi perutku yang masih tidak enak membuat nafsu makanku turun. Orang sana bilang obat untuk mabuk laut adalah mandi di laut. Tapi, siang itu cuaca sedang panasnya. Dan pantai sedang ramainya. Aku pun tidak berminat mandi di laut.

Demi melepas penat, aku berjalan-jalan saja. Di bawah pepohonan, ada tiga bocah yang sedang bermain. Seorang anak laki-laki nampak lebih tua dari dua anak perempuan lainnya. Ia memegang kertas manila berwarna merah yang sudah bekas, lalu dua anak lain mencoba meraih kertas tersebut. Aku datang dan menawarkan diri untuk memegang kertas itu biar si anak laki-laki juga ikut berusaha menggapainya. Lalu aku bilang kalau ada tali ini bisa jadi mirip layang-layang. Karena tidak ada tali, aku pakai jalar benalu yang menggantung dari atas pohon. Setelah tali jalar itu kuikatkan ke kertas, mulailah kertas itu melambai-lambai ketika tali kuangkat. Angin yang kencang menerbangkannya. Aku berlari dan anak-anak itu mengejar. Kami tertawa dan bercanda. Dari situ aku merasa moodku sudah kembali.


Kami memainkan beberapa permainan, dari layang-layang itu, lalu cublak-cublak suweng, tebak-tebakan hewan, mainin kucing, hingga menangkap capung. Ohya, nama anak laki-laki itu Adam, dia yang paling semangat bermain. Dua anak perempuan itu, yang usianya kurang lebih empat tahun, bernama Shakira dan Tiara. Mereka bertiga sangat manis dan baik, terutama sama kucing. Haha.

Rupanya cukup lama kami bermain, dan anak-anak ini seperti tidak habis-habis tenaganya. Dabuy sudah mencariku dan mengajakku untuk ke rumah Engkong Samad. Aku pun pergi meninggalkan anak-anak itu dan berharap akan berjumpa lagi dengan mereka.

Sebelum merebahkan diri untuk istirahat, kami makan siang di rumah Engkong Samad. Menu siang itu sayur asem dan cumi-cumi. Enak sekali masakan itu, sampai aku mengambil secentong nasi lagi. Apalagi aku sedang kelaparan sehabis muntah dan bermain dengan anak-anak. Belum sempat kami menidurkan diri, Teh Aas datang mengunjungi kami. Jadilah kami menemani Teh Aas yang banyak berbincang dengan Bang Farid. Aku lihat Dabuy agak terkantuk menyimak obrolan ini. Aku pun sama. maka pukul 14.00 WIB aku izin pergi istirahat.

Kurang lebih pukul 16.00 WIB aku bangun dari tidurku. Rasanya sudah lumayan enak setelah tidur barang dua jam. Ternyata Teh Aas masih ada di sini. Ia, bang Farid, Engkong Samad, dan Dabuy sedang mengobrol di teras rumah. Nampak gerimis di luar sana. Sepertinya tadi baru hujan.

Sore ini kami akan ke ladang/kebun. Maka, dengan iringan gerimis kecil kami pergi menuju ke sana. Di tengah perjalanan kami mampir ke warung Teh Aas. Di situ sudah ada beberapa bapak-bapak yang sedang berbincang-bincang. Kami duduk dan disuguhi oleh anaknya teh Aas pisang goreng dan tahu isi.

Obrolan itu berakhir setelah kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju ladang. Sampai di ladang kami melihat-lihat bagaimana kondisi tanaman yang beberapa bulan lalu telah dicoba untuk ditanam di lahan tersebut. Tanaman seperti kangkung banyak yang berwarna kuning. Kata bang Farid, itu dikarenakan kurangnya unsur N (Nitrogen) yang biasanya didapat dari pupuk. Dan juga air yang jika tanah berpasir ini tidak dilapisi oleh humus akan cepat kering usai disiram air.


Menjelang maghrib kamipun kembali ke rumah Ngkong Samad. Setelah makan malam, kami bersiap menuju rumah salah satu warga untuk mengadakan pertemuan. Rumah itu mempunyai teras yang cukup luas, sehingga dapat menampung perkumpulan warga sejumlah kurang lebih 15 orang. Kopi dan gorengan sukun menjadi suguhan yang sangat nikmat pada pertemuan malam itu.

Pembahasan dalam pertemuan itu adalah seputar rencana penggarapan lahan. Selain dilakukan untuk menghidupkan lahan dan menjadikannya produktif, penanaman ini juga menjadi upaya reclaiming bagi warga Pulau Pari agar dapat terus mempertahankan ruang hidupnya. Meskipun warga di pulau ini tidak mempunyai pengalaman bertani, namun semangatnya untuk bercocok tanam cukup tinggi. Karena itulah bang Farid bersama WALHI siap membantu berbagai kebutuhan untuk mengembangkan pertanian di wilayah ini.


Selain Teh Aas ada juga Mpok Atik yang malam itu duduk di sampingku. Mpok Atik orangnya sangat ramah, baik dan suka bercerita. Bahkan ketika masih ada yang berbicara, ketika ia ingin menyampaikan pendapatnya ia langsung saja bicara, entah kepada semua orang atau hanya kepadaku. Sehingga aku sendiri terkadang cukup mengiyakan dan menanggapi seperlunya, supaya tidak mengganggu orang lain yang sedang bicara. Di kesempatan itu juga aku meminta nomor Mpok Atik dan Teh Aas untuk dapat terus berkomunikasi.

Dari pertemuan itu aku pun kemudian tahu, Dabuy dan Bang Farid tidak akan balik ke Jakarta besok melainkan lusa. Jadilah aku besok pulang sendiri. Tidak masalah yang penting jangan sampai ketinggalan kapal. Untung saja ada Mpok Atik yang membantuku membelikan tiket. Aku pulang menggunakan kapal milik Dinas Perhubungan. Kapal yang dijadwalkan berangkat pukul 1 siang rupanya pergi lebih awal. Maka dengan tergesa-gesa usai makan siang aku langsung menuju dermaga. Di sana sudah ada Mpok Atik yang menungguku. Aku datang kepadanya dan ia langsung memberikan tiket yang ia beli. Ia tidak mau menerima penggantian uang dariku. Aku sangat berterimakasih, namun aku merasa berhutang budi padanya. Semoga suatu hari dapat terbalas.

Kemarin aku sudah berencana untuk berenang di laut pada pagi hari sebelum waktu kepulanganku. Maka pagi itu usai sarapan aku bergegas pergi ke pantai. Sementara Dabuy yang masih tidur nyenyak aku tinggalkan saja. Dalam perjalanan menuju pantai aku dipanggil oleh Teh Aas dan diminta membawakan pisang goreng untuk bang Farid yang mungkin sedang ada di ladang. Pisang goreng di tangan dan aku kembali meneruskan langkahku. Sampai di pantai gorengan dan air minum kuberikan ke bang Farid, lalu aku terus berjalan sampai di pendopo tepi pantai.


Hari itu adalah hari senin, sehingga pantai nampak sepi. Aku berenang seorang diri, namun rasanya menyenangkan sekali. Ternyata aku sudah agak bisa berenang. Kaki dan tangan sudah bisa bekerjasama. Hanya saja aku masih belum lancar mengatur pernapasan dengan menenggelamkan dan menaikkan kepala sebagaimana yang dilakukan Rere.

Usai berenang dan membilas badan, aku ke warung dan memesan jahe susu hangat. Warung sepi. Tidak ada bang Farid. Gerimis pun datang. Kuhabiskan minumanku dan kupakai payung menuju kebun yang tidak jauh dari situ. Rupanya bang Farid dan beberapa warga Pulau Pari sedang membersihkan ladang dari alang-alang. Ada juga teh Aas dan anaknya yang berusia sekitar 7 tahun. Tak lama kemudian Dabuy datang. Dan kami pun turut membantu membersihkan ladang itu. Meskipun gerimis tidak kunjung berhenti, semangat warga untuk menyiapkan ladang pun tidak surut. Sayang sekali aku tidak bisa membersamai mereka lebih lama. Semoga ada kesempatan lagi untuk mengunjungi Pulau Pari yang indah sekali beserta keramahtamahan warganya.

 



0 Comments