Hari Minggu (01/12) pukul 15.30 WIB aku tengah bersiap untuk pergi. Hari itu aku dan seorang kawanku sudah berencana pergi ke Makam Tan Malaka. Usai bersiap aku lupa kalau aku belum ada helm. Akhirnya kami mencari dulu teman yang bisa dipinjami helm. Tak lama, Zen, temanku dari kampus yang sama-sama belajar di Pare bisa kupinjam helmnya. Langsung saja setelah mendapat helm itu kami pun pergi.

Perjalanan kurang lebih satu jam dari Pare menurut perhitungan google map. Alamatnya terletak di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Aku yang mengurus navigasi, dan kawanku yang nyetir. Jalanan nampak tidak begitu ramai. Meski ukuran jalannya tidak sebesar jalan pantura, tetapi tidak ada kemacetan hari itu.

Sepertiga perjalanan menuju lokasi suasananya mulai berbeda dari Pare, agak sejuk dan adem. Seperempat perjalanan, jalan mulai nanjak. ‘Wah kayaknya lokasinya di daerah tinggi nih’, pikirku. Jadi lumayan bisa sejenak melepaskan diri dari panasnya neraka Pare. Semakin ke atas aku melihat di sudut lain penampakan gunung yang aku tak tahu apa namanya.

Lokasi makam Tan Malaka berada di daerah yang cukup terpencil tetapi tidak jauh dari kehidupan manusia. Hanya saja buat kamu yang akan ke sana dan belum pernah ke sana saya sarankan jangan nekat tanpa pegangan google map atau orang yang tau lokasinya. Layaknya makam tokoh pahlawan nasional lain atau tokoh kyai yang setiap tikungan memiliki petunjuk jalan, jangan bayangkan makam Tan Malaka juga demikian. Tak akan kau temukan petunjuk jalan yang akan mengarahkanmu ke sana. Petunjuk arah ke makam baru ada sekitar 800 meter menuju lokasi.

Menyadari hal ini, aku jadi merasa Tan Malaka benar-benar terlupakan jasanya sebagai seorang pahlawan kemerdekaan, terutama oleh pemerintah. Bahkan yang menemukan makamnya pun bukan hasil penelusuran yang diinisiasi oleh pemerintah, melainkan seorang sejarawan bernama Harry A. Poeze pada tahun 2007.

Nampak dari pintu masuk, ada bendera DPC GMNI Kediri. Lalu gapura kecil yang terbuat dari bambu bikinan anak KKN UNP Kediri. Merekalah sebagian dari orang yang mengenal Tan sebagai sosok yang patut dihargai. Kupikir tak akan ada yang merawat makamnya jika ia tidak terletak di kompleks makam. Hanya yang pernah membaca karyanya dan mengenalnya lalu datang dan turut merawatnya.

Melewati gapura, kami harus menuruni beberapa anak tangga hingga sampai di sebuah kompleks pemakaman. Kompleks pemakaman itu terletak di tengah ladang pertanian dan hutan. Suasananya sangat sepi. Tak ada satupun manusia di sana selain kami.

Makam Tan Malaka terletak di tengah kompleks makam tersebut. Tak ada atap apalagi satir. Makamnya sangat sederhana dengan tulisan di batu nisannya, innalillahi wa inna ilaihi rajiun, IBRAHIM DATUK TAN MALAKA, PAHLAWAN KEMERDEKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA (KEPRES No. 53 Tahun 1963, TGL 28 Maret 1963), Lahir di Suliki Sumatera Barat tahun 1984, Gugur/wafat di Kediri, 21 Februari 1949.

Dengan posisi jongkok, kami membacakan yasin dan tahlil untuk beliau. Tak lama setelah itu kami pun pamit pulang. Rasanya senang bisa sampai di sana. Kedatanganku ke sana mengingatkanku pada setiap perkenalanku pada buku-buku dan diskusi-diskusi yang pernah diadakan untuk mempelajari dirinya.

Aku mengenang bahwa dia adalah seorang pemikir yang cerdas, kritis, dan berjiwa sosialis. Seorang komunis yang selamanya tidak akan mendapat tempat di buku bacaan pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas. Ia yang memilih berlawanan dengan pemerintahan yang baru terbentuk dan akhirnya dibunuh oleh bangsanya sendiri.

Kata-katanya yang selalu kuingat dan menyadarkanku akan arti pendidikan:
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”

Entah berapa banyak anak muda sekarang yang mengenal sosok Tan Malaka. Ada yang barangkali tahu dan mengikuti pemikirannya, ada yang tahu untuk memusuhi (sebab dia komunis), ada pula yang tidak tahu sama sekali, yang ketika mendengar namanya lalu mengira maksudnya adalah Selat Malaka.

Aku sendiri terkadang merasa asing dengannya (sebab tak pernah tuntas membaca bukunya), tetapi terkadang juga merasa dekat karena sosoknya yang membuatku kagum. Aku berharap banyak anak muda yang mau mengenal pemikirannya yang yang hebat itu. Selain juga terus menuntut perhatian dari pemerintah untuk menghargai beliau sebagai pahlawan kemerdekaan RI. Akhirnya, mari kita sama-sama senantiasa mengirim al-Fatihah untuk beliau, lahal-Faatihah...

0 Comments