Account Officer
Mencoba Peruntungan di Dunia Perutangan
Siapa yang bisa menduga besok akan jadi apa? Apapun yang
terjadi, di samping usaha dari kita tentu takdir Tuhan juga memainkan peran
penting dalam menentukan hasilnya. Hari ini aku kembali membuktikan bahwa apa
yang selama ini aku remehkan ternyata adalah takdirku. Dulu aku sering
memandang sebelah mata pekerjaan sebagai community officer atau account officer.
Nyatanya sekarang aku mulai bekerja di sana. Ya, sebagai AO di PNM Mekaar
Cabang Karangtengah. Bagaimana ceritanya?
Semua berawal dari
stress, stress karena mencari pekerjaan tidak kunjung dapat. Pada akhir bulan Februari
lalu aku bertekad untuk bekerja selepas aku menyelesaikan kursusku di Pare. Aku ingin mengumpulkan cuan untuk
keperluan test toefl dan memperbaiki laptopku yang rusak, dan tentu saja untuk
meringankan beban orangtuaku. Aku cari loker di semua akun Instagram dan tagar,
aku juga mencari di facebook dan telegram. Aku perhatikan setiap broadcast wa
kalau-kalau ada info loker. Tidak lupa pula jobstreet yang hampir tiap hari
ngirim info loker lewat email.
Sebetulnya aku tak terlalu memilih pekerjaan tapi tetap saja
sebagai lulusan S1 ada semacam gengsi untuk memasuki kerja yang diperuntukkan
lulusan SMA apalagi SMP. Aku mungkin nyaman saja kerja sebagai waitress misalnya,
tapi orangtua tentu akan merasa malu karena perkataan orang-orang mengenai
diriku. Jadi aku sedikit memilah pekerjaan, kalau bisa sesuai passion, kalau
tidak ya cukup persyaratan S1.
Beberapa pekerjaan yang sempat aku lamar ialah: wartawan, peneliti,
admin purchaser, TU sekolah, admin keuangan, bina rohani Islam (binrohis), frontliner,
dan account officer (AO). Dari sekian banyak lamaran pekerjaan yang aku kirim,
hanya tiga yang memberi sinyal positif: peneliti, binrohis, dan AO.
Pertama, peneliti di IPAC (Institute for Policy Analysist
ofConflict). Betapa bahagianya diriku mendapat panggilan dari sana. Pekerjaan
sebagai peneliti magang yang pasti akan memberi banyak pengalaman, pengetahuan,
dan kesan menarik, ditambah fee yang tidak sedikit (enam jeti sebulan)
membuatku semangat mengikuti wawancara yang diadakan melalui video call WA itu.
Namun sayang, takdir tidak meloloskanku untuk bekerja di sana.
Kedua, sebagai binrohis di sebuah RSI di Jogja. Awalnya aku
sangat semangat melamar kerja di sana. Persyaratan yang harus dikirim langsung
tidak boleh lewat email membuatku harus cukup bekerja keras mempersiapkannya di
tengah masa kursusku di Pare. Aku juga ke RS untuk meminta surat keterangan
sehat dan tidak buta warna. Selesai itu aku langsung mengirimnya melalui JNE. Usahaku
ternyata membuahkan panggilan tes tertulis pada 14 Maret lalu.
Aku berangkat keJogja dengan tetap berhati-hati sebab wabah
corona sedang maraknya. Perjalanan yang jauh dan sialnya harus berganti bus sampai
empat kali membuatku pusing. Sesampainya
aku ditampung di kos teman saya yang dulu sefakultas dan sekarang melanjutkan
studi pasca di UGM.
Esoknya aku tes tertulis yang soalnya mengenai pengetahuan
agama Islam dan kompetensi. Ketika menulis jawaban tes kompetensi aku ragu akan
lolos. Pasalnya aku tidak pernah belajar apa itu mental healing? Bagaimana
menghadapi pasien sakaratul maut? Dan bagaimana merukti jenazah? Aku bahkan
baru tahu ada istilah rukti, hahaha. Aku pasrah dan tidak mau ambil pusing
dengan menjawab: belum pernah merukti jenazah.
Dua minggu kemudian keluar pengumuman untuk tahap wawancara
dan praktek. Dari Sembilan orang yang sebelumnya mengikuti tes tertulis, lima
di antaranya lolos termasuk aku. Antara sedih dan senang. Aku timbang dan pikir
ulang. Memang ini pekerjaan yang bagus, di samping membutuhkan keilmuan agama
yang dalam dan luas, di Jogja aku bisa merasakan atmosfer baru. Ia adalah kota
pelajar. Tentu akan ada banyak yang bisa kupelajari.
Namun, di sisi lain, aku belum siap utuk mengurus jenazah. Jogja
juga terlalu jauh dari rumah. Orangtua agak berat apabila aku bekerja di sana. Bukan
hanya aku akan tidak pulang dalam waktu yang lama, tapi juga persiapan dana
yang kurang untuk menopang hidupku selama sebulan pertama. UMR Jogja juga
sedikit. Lebih banyak di Demak malah. Apalagi sekarang lagi wabah corona, ketakutan
untuk berada jauh dari keluarga dan pergi ke luar kota membuatku mantap untuk
tidak memenuhi panggilan tersebut.
Beberapa hari kemudian dari teman yang aku kenal waktu tes
pertama aku tahu, yang diambil untuk posisi tersebut hanya satu orang. Dan entah
kenapa aku merasa bakal tidak lolos seandainya mengikuti tes wawancara dan
praktek itu. Ya sudah lah belum rejekiku.
Ketiga, di PNM Mekaar. Aku mendapat panggilan wawancara pada
tanggal yang sama di mana aku juga harus mengikuti tes tertulis di Jogja itu. Dengan
pertimbangan bahwa aku telah berjuang untuk mendaftar binrohis maka aku memilih
untuk mendatangi panggilan di Jogja. Aku menghubungi kontak yang aku temukan di
poster PNM untuk bertanya apakah boleh wawancara di lain waktu. Namun SMS ku
tidak dibalas. Dari nomor lain yang kutelpon aku mendapat info kalau tes selalu
ada dan aku disuruh menunggu untuk jadwal selanjutnya.
Di minggu di mana aku telah mendapat informasi kalau aku
lolos tes tertulis di Jogja, aku mendapat balasan SMS untuk nge-WA nomor
petugas PNM tersebut. setelah aku WA aku ikuti prosedur untuk mengikuti tes
online. Seandainya tidak ada corona tes itu mestinya diadakan di kantornya.
Tes yang diadakan tanggal 2 April itu dimulai pada pukul 9
pagi. Sebelumnya kita diminta mengirim foto KTP dan KK. Setelah itu kita diberi
informasi mengenai apa itu PNM Mekaar dan posisi yang dibutuhkan. Ada AO (Account
Officer) dan FAO (Finance Administration Officer). Aku yang membayangkan
mungkin lebih enak jadi FAO karena hanya di kantor tidak perlu panas-panasan
maka aku mendaftar sebagai FAO. Tahapnya ada tiga, pertama menjawab 100 pertanyaan
psikotes melalui sebuah link. Waktu menjawabnya adalah 30 menit. Selanjutnya kita
disuruh menunggu panggilan wawancara melalui telepon.
Dari jam 10 aku menunggu. Karena biasanya jam 1 atau 2 aku
tidur maka aku menanyakan jam berapakah jadwal wawancaraku, bapaknya bilang sore.
Oh ya sudah ada waktu untuk tidur berarti. Maka tidurlah aku jam dua dan hape
aku charge. Aku bangun jam empat dan langsung mengecek HP. Dan benar saja, jam
tiga tadi ada empat panggilan tak terjawab. Maka buru-buru aku ngechat mohon
maaf dan meminta untuk menelpon saat itu juga. Maka ditelponlah aku.
Pertanyaan wawancara itu tidak sulit. Hanya seputar diri
kita. Kelebihan dan kekurangan kita. Tidak lebih dari 10 menit kayaknya. Setelah
itu tes lagi untuk kemampuan akuntansi
melalui sebuah link. Jujur saja aku tidak terlalu paham dengan istilah
dan pertanyaan yang diberikan. Aku jawab setahu dan seasalnya saja. Hasilnya gak
lolos. Haha. Lalu aku ditawari untuk posisi AO. Aku terima sajalah. Akhirnya
ditempatkanlah aku di kecamatanku sendiri, Kecamatan Karangtengah.
Senin, 6 April adalah tanggal di mana aku seharusnya
mengikuti tes wawancara di Jogja. Tetapi senin itu aku malah berangkat untuk
training hari pertama di PNM Mekaar. Karena belum tahu lokasinya dan takut terlambat
aku berangkat pukul 7.15 pagi di mana training dimulai pukul 8.00. ternyata
tidak sampai setengah 8 aku sudah sampai di lokasi. memang dekat kantornya. Desa
tetangga tetapi harus menyeberangi jalan raya pantura.
BKM |
Dua hari training aku membaca BKM (Buku Kebijakan Mekaar)
yang isinya tebal dan memusingkan. Hari pertama aku meriang. Mungkin karena
kelamaan rebahan dan di sana kipas senantiasa menyala. Hari kedua aku mulai
fit. Hari ketiga dan keempat aku diajak ke lapangan mengikuti yang lain.
Hari ketiga aku keliling desa yang berada di utara kecamatan
bersama Mbak Yus dan Mbak Siswi, sedangkan hari keempat aku keliling desa di
area selatan kecamatan bersama Mbak Nanda. Aktifitasnya sama, menagih
pembayaran mingguan ke ibu-ibu yang menjadi anggota kelompok peminjam. Tentu
dua hari belum cukup untuk menceritakan detil suka duka pekerjaan ini karena
itulah aku hanya menuliskan kesannya saja.
Wabah corona membuat ekonomi warga menjadi sulit. Meski Demak
bukan zona merah dan tidak ada lockdown di sini, nyatanya dampak itu sudah sangat
terasa terutama bagi masyarakat bawah. Ada yang usahanya harus berhenti karena
tempat dagangnya sudah tidak ada pelanggan, misal: sekolah dan tempat wisata. Ada
yang terpaksa mengandalkan gaji suami untuk membayar tagihan malah suaminya dikeluarkan
dari pabrik atau tidak mendapat pekerjaan di buruh bangunan. Ada yang terpaksa
bekerja di sawah dengan gaji tak seberapa. Pokoknya banyak yang sengsara.
Agak berat memang bekerja sebagai tukang menagih hutang, tapi
mau ke mana kalau perekonomian sedang ambruk begini? Hanya lembaga negara yang
masih bertahan dan bisa menjamin pekejaan. Lembaga swasta milik kapitalis
sedang tidak bisa diandalkan. Semuanya sedang berada di masa collapse. Karena itu
lah, sebelum ada pekerjaan lain yang lebih baik aku akan coba cari peruntungan
di dunia perutangan ini. Lagipula dengan menelusuri tiap sudut desa di sini aku
jadi lebih bisa mengenal pelosok daerahku beserta kondisi masyarakatnya. Menurutku
ini tak kalah menarik.
0 Comments