Setelah sebelumnya diadakan diskusi tentang revolusi pendidikan di Universitas Diponegoro, pada hari Sabtu sore tanggal 24 Maret 2018 diadakan juga diskusi pendidikan yang fokus pada kajian kurikulum pendidikan. Diskusi yang bertempat di UIN Walisongo ini dihadiri oleh beberapa mahasiswa dari tiga kampus negeri di Semarang, Undip, UNNES, dan UIN Ws.

Saya selaku moderator sekaligus pemantik diskusi memaparkan tentang betapa pentingnya bahasan kurikulum dalam mengkaji masalah pendidikan. Karena kurikulum merupakan acuan penting dalam melaksanakan proses pendidikan, serta bagaimana membentuk karakter peserta didik. Kemudian saya terangkan bahwasanya pergantian kurikulum yang terjadi hampir setiap kali pergantian menteri tidaklah bagus. Karena selain memerlukan adaptasi dan penyesuaian oleh para tenaga pengajar dan pengajaran dalam perguruan tinggi, juga seringkali perubahan kurikulum membutuhkan biaya yang sangat besar.

Menurut saya perlu adanya perubahan cara dalam menilai keberhasilan pendidikan dari yang berbasis angka (score) ke nilai (value). Perubahan ini juga harus diikuti dengan proses edukasi kepada masyarakat untuk merubah mindset bahwa keberhasilan pendidikan anak tidak hanya dipandang dari nilai yang diperoleh dalam rapor atau UN. Karena kecerdasan masing-masing orang tidak sama, maka harus ada pula apresiasi yang sama terhadap kecerdasan anak dalam berbagai bidang yang jumlahnya 8. Dalam tulisan yang saya bagikan saat diskusi juga menerangkan bahwa orientasi bersekolah untuk mendapat kerja membuat para siswa hanya sekolah sekedar mendapat ijazah, selesai. Tidak  ada transfer ilmu yang kemudian berguna bagi kehidupan di masyarakat lingkungannya.

Diskusi kemudian mengalir kepada tanggapan dari para peserta. Yang pertama ada Aziz dari PGPAUD Unnes. Senada dengan saya, ia juga mengkritik pendidikan yang hanya mencari ijazah, bukannya ilmu. Aziz juga mengomentari soal kurikulum 2013 (K-13) yang menurutnya kurang pas jika diterapkan di desa-desa yang notabenenya masih tertinggal karena cenderung menekankan pada penggunaan teknologi elektronik seperti komputer dan internet. Yang terpenting sebelum memberlakukan K-13 yang demikian ini seharusnya adalah terlebih dahulu melakukan pemerataan akses pendidikan dan memastikan kemampuan semua lembaga pendidikan untuk bisa menunjang dengan sistem kurikulum K-13. K-13 yang katanya juga ingin memperbaiki moral kenyataannya tidak berjalan sebagaimana harapan. Kita justru dilenakan dengan kemudahan teknologi yang lambat laun mendegradasi moral anak muda.

Masih dalam rangka pemerataan, seharusnya guru-guru yang sudah PNS juga bisa terdistribusi dengan baik ke berbagai daerah yang masih membutuhkan guru-guru profesional. Sayangnya untuk menjadi  PNS, seorang guru harus mengikuti PPG (Pelatihan Profesi Guru) yang biayanya sangat tinggi. Tentu saja hal itu memberatkan para guru honorer untuk bisa menjadi PNS. Malah menurut anggapannya PPG tidak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas guru, karena materinya masih sama dengan yang dipelajari sewaktu S1.

Sedangkan menurut Afif dari UIN, yang juga menjadi masalah pendidikan saat ini adalah kurangnya apresasi terhadap karya anak bangsa. Anak-anak sekolah yang menciptakan mobil Esemka misalnya, ketika Jokowi menjadi Walikota Solo sangat bangga dengan mobil itu hingga menjadikannya mobil dinas. Tetapi sekarang, mengapa ketika menjadi presiden tidak juga melakukan hal yang sama? Kemudian ia juga menyinggung pentingnya proses belajar dua arah atau dialogis sebagaimana teori pendidikan Paulo Freire agar siswa menjadi aktif dan komunikatif terhadap apa yang sedang dipelajari.

Lalu Ivan, mahasiswa FIP UNNES juga menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan kita saat ini masih menganut sistem Belanda. Dimana pendidikan formal diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri. Padahal bapak pendiri bangsa kita sendiri sudah pernah membangun pendidikan yang berangkat dari kebutuhan masyarakat, yaitu Taman Siswa dan Sarikat Islam. kita seharusnya menjadikan kedua sistem pendidikan itu sebagai acuan kurikulum dalam membangun kerangka berpikir. Dalam kedua sistem pendidikan itu juga fokus pada transfer ilmu dan nilai yang penting bagi peningkatan kualitas pendidikan kita.

Memang penilaian kualitas belajar dengan angka tidak sepenuhnya baik, sepertinya K-13 juga sudah mulai berpikir agar penilaian dilakukan berdasarkan tingkat kemampuan siswa. Yang menjadi masalah utama dalam hal ini menurutnya adalah paradigma masyarakat kita yang memandang bahwa lembaga pendidikan tujuannya hanyalah untuk mencari kerja. Ketika pikiran ini masih dipunyai oleh mayoritas masyarakat kita maka, revolusi sebagus apapun tidak akan berhasil.

Selain itu Ivan juga menerangkan tentang pembagian metode pendidikan, yaitu pedagogik dan andragogik. Metode pedagogik cocoknya untuk anak-anak yang memang belum banyak memiliki pengetahuan dari luar, maka gurulah yang menjadi sumber pengetahuan primer bagi anak. Namun pendidikan metode ini di Indonesia masih cenderung politis, artinya muatan materi yang ada di sekolah-sekolah diarahkan untuk tidak menentang rezim. Sedangkan metode andragogik lebih tepat digunakan untuk anak SMP, SMA atau mahasiswa yang sudah dapat mencari pengetahuan dari selain guru.

Setelah itu, Ryan dari UNNES jurusan kurikulum menyampaikan bahwa secara umum kurikulum pendidikan itu dibagi dua, kurikulum catering dan prasmanan. Kurikulum catering adalah kurikulum yang sudah dipaketkan dan terdiri dari banyak materi. Kurikulum seperti inilah yang dianut oleh Indonesia. Sedangkan kurikulum prasmanan adalah kurikulum yang memungkinkan anak didik untuk memilih sendiri bidang apa yang ia minati untuk kemudian ia dalami. Kurikulum demikian dapat ditemukan di negara dengan pendidikan maju di Finlandia.

Menurutnya kurikulum memang sejatinya harus berubah menyesuaikan peubahan zaman. Namun pergantian kurikulum yang tidak lepas dari dimensi politik dan seringnya dipakai sebagai proyek oleh pemerintah sehingga mengeluarkan banyak biaya juga masih menjadi masalah ketika pergantian kurikulum itu dilakukan. Ia juga mengritik pendidikan kita yang mendapat intervensi dari industri. Apa yang dibutuhkan industri, kemudian jurusan itulah yang banyak dibuka. Sedangkan jurusan yang tidak banyak dibutuhkan oleh dunia industri akan disingkirkan.

Kemudian oleh Ivan, bahwa jika orientasinya adalah mendapat kerja maka pendidikannya langsung saja pendidikan profesi. Dan jika ingin belajar keilmuan dan karakter maka yang lebih tepat adalah pendidikan profentik/nonformal seperti pesantren atau pendidikan alternatif. Jika pendidikan formal saat ini hanya untuk melanjutkan warisan Belanda maka lebih baik ditiadakan. Kesadaran ini juga mestinya disebarkan pada masyarakat kita, karena mustahil melakukan revolusi pendidikan tapi masyarakat juga para pelajar tidak ikut dilibatkan. Revolusi mau tidak mau memang membutuhkan waktu yang cukup lama.

Kemudian masih oleh Ivan, pertanyaan yang tak kalah penting diajukan adalah ketika kita ingin memberikan pendidikan karakter, lalu karakter yang bagaimana? Atau karakter siapa? Jawaban salah seorang profesor yang ditanya waktu itu masih cenderung normatif, sekedar karakter yang baik. Karena sampai saat ini masih belum jelas karakter yang dibangun ini diarahkan untuk menjadi seperti apa dan tidak adanya prinsip yang kuat untuk menjaganya, maka akibatnya siswa pun masih banyak yang moralnya terdegradasi.

Bagi Yuli, mahasiswa UNNES, model pendidikan kita kurang mengajarkan nalar kritis pada anak didik. Dampaknya bisa kita lihat di perguruan tinggi dimana para mahasiswa yang lebih banyak mendengarkan dan menerima dan enggan mempertanyakan. Maka yang harus diberikan selain materi pelajaran juga nalar kritis. Anak yang awalnya sering bertanya lambat laun bungkam karena tidak perlu ada pertanyaan. Misalnya bertanya tentang mengapa langit berwarna biru, itu karena takdir, selesai. Tidak ada dialog.

Aziz, yang jurusannya adalah PG PAUD juga mengritisi cara mengajar anak yang terlalu menekan dengan berbagai tuntutan untuk bisa baca tulis dan gambar. Adanya PAUD malah mengurung anak di dalam kelas. Akibatnya ia kurang mengenal lingkungannya. Padahal seharusnya anak usia dini lebih banyak diajarkan tentang lingkungannya daripada kemampuan membaca atau menghitung. Karena ada masanya sendiri untuk menyesuaikan pendidikan anak dengan perkembangan otaknya.

Ulil dari FIB UNDIP juga ikut menanggapi. Katanya, ketika pendidikan dipandang sebagai ladang investasi, maka mau tidak mau, WTO juga masuk ke dalam kurikulum pendidikan kita. Misalnya saja pendidikan Bahasa Inggris yang dikenalkan sejak dini, ini untuk apa kalau bukan demi menyesuaikan kebutuhan industri. Selain itu pendidikan kita juga kurang memperkenalkan identitasnya sendiri. mengapa di Papua misalnya, mereka tidak dikenalkan pada para tokoh pahlawan yang berasal dari sana? Mengapa masih juga jawasentris? Yang penting bagi dunia pendidikan kita yang pertama adalah pendidikan multikultural dan kedua pendidikan kritis, terutama kritis analisis sejarah. Karena pendidikan dalam bukunya Eko Prasetyo seharusnya adalah untuk melawan, melawan ketidakadilan. Sistem pendidikan kita jika menganut pada taman siswa, ya taman yang menyenangkan, dan bukannya mengajarkan ketakutan. Lebih lanjut ia menilai, jika lembaga pendidikan hanya digunakan untuk mempertahankan status quo rezim, lebih baik dibubarkan saja.

Kemudian ivan juga menambahkan tentang pentingnya kombinasi antara sistembank dan dialogis dalam metode pengajaran kita. Kurikulum multikultural juga mestinya dijadikan sebagai standar penting dalam membangun karakter generasi.

Singgih, mahasiswa FIP UNNES juga urun pendapat. Transisi kurikulum dari KTSP dan K-13 sampai saat ini tidak memberikan perubahan nyata bagi dunia pendidikan kita, kecuali pentingnya teknologi dalam KBM. Dalam segi afektif bisa dikatakan malah menurun. Prinsip pembentukan karakter belum tercapai karena kenyataannya masih banyak anak didik yang terdegradasi moralnya. Untuk itu perlu dilakukan dekonstruksi kurikulum yang lahir dari masyarakat. Yang harus ditakutkan dalam setiap perubahan kurikulum adalah adanya intervensi kepentingan politik dan industri didalamnya.

Terkait metode pendidikan untuk anak usia dini, kita mesti belajar dari Finlandia. Disana anak-anak diberikan materi 15 menit, kemudian 45 menit bermain sebagai bentuk praktik/implementasi mereka tentang ilmu yang telah diterima sebelumnya. Anak juga tidak dibebankan dengan PR. Sehingga anak tidak akan tertekan dengan materi pelajaran yang memusingkan. K-13 juga menawarkan banyak metode pembelajaran yang memang lebih sesuai di era digital ini. Untuk itu kita mestinya bisa selektif untuk memilih metode yang tepat bagi pendidikan kita.

Uswatun dari PGPIAUD UIN juga mengkritik jenjang pendidikan para guru PAUD yang masih belum linier. Penelitian di Kota Semarang saja, guru PAUD dan TK hanya mengenyam pendidikan SMA bahkan SD. Karena itulah model pengajarannya lebih banyak menekankan calistung yang sebenarnya belum boleh diberikan pada anak dibawah 5 tahun.

Terakhir, dari Rama mahasiswa UNNES, menambahkan tentang intervensi aparat negara dalam aktivitas mahasiswa di kampus UNNES sehubungan dengan akan datangnya tamu penting, Pak Presiden Jokowi. Sudah ada beberapa nama yang tercatat di intel sebagai provokator untuk melakukan aksi pada hari kedatangan pak Jokowi. Hal itu menyebabkan ketakutan dan dengan demikian suasana kampus menjadi semakin mencekam. Aparat yang seharusnya bertugas mengayomi masyarakat dan melindungi negara dari ancaman luar, malah mengganggu aktivitas mahasiswa yang ingin menyambut kedatangan presidennya. Untuk itu UNNES saat ini sangat membutuhkan solidaritas dari seluruh mahasiswa khususnya di Semarang.

Demikian notulensi diskusi tentang pendidikan Indonesia yang berlangsung di UIN Walisongo Semarang. Semoga dapat memicu munculnya diskusi-diskusi yang sama di tempat-tempat lain. Terlebih dalam rangka menyambut momentum Hari Pendidikan Nasional 2 Mei mendatang. Salam.

Hidup Mahasiswa...!!!

0 Comments