Jumat (10/08) sore itu aku baru bersiap pergi ke kantor WALHI. Tadinya rencana ada rapat jam dua, tapi disebabkan cuaca panas dan tidak adanya informasi lanjutan apakah jadi atau tidak, aku tidur saja, biar malamnya bisa fit buat melek. Setengah lima aku nunggu bis BRT di depan Gang 41 Ngaliyan. Kurang lebih 10 menit menunggu bispun datang. Aku masuk dan menyodorkan uang seribu beserta KTM.

Satu setengah jam waktu tempuh menuju ke kantor yang letaknya di daerah Srondol. Piuhh, capek cuy, sepanjang perjalanan mesti berdiri berdesakan sama anak sekolah dan orang-orang yang lagi pada pulang kerja. Ketika berpindah bis di Balai Kota, tas gendong dan tas laptop kutaruh bawah untuk mengurangi beban, sambil tetap ku pegangi biar aman. Untung saja tadi sudah tidur jadi lelahnya tak begitu parah.

Sampai di WALHI pas magrib dan listrik di daerah sana ternyata mati. Dus aku jalan kaki dari BRT Swalayan Ada sampai kantor kurang lebih 100 meter dalam keadaan gelap. Sampai sana sudah ada semuanya, Pak Agus, Mas Fahmi, Patria, Risme, Nasrul, Mbak Yul, Irham, dan Syafa. And guess what? Ternyata rapat tadi siang itu jadi. Haha, aku malu baru datang. But it’s ok lah, lain kali gak akan gitu lagi. Malam itu kami ngobrol biasa, bicara soal acara besok, atau tentang WALHI, dan PMII. Hemm tak perlulah tak tulis, kalaupun penting, bukan tempatnya, nanti jadinya tak sesuai dengan judul.

Oke jadi esoknya setelah makan kami berangkat menuju Pemalang sekitar jam 10.30 WIB. Kami mampir LBH dulu buat minjem proyektor. Yang berangkat ke Pemalang ada lima orang, aku, Mbak Yul, Patria, Risme, dan Mas Irham. Si supir? Pastinya Patria, anak UNDIP yang magang di WALHI. Bersyukur banget ada dia, karena emang tidak ada satupun dari kita yang bisa nyetir mobil. Haa.

Sampai Lokasi

Kurang lebih setelah empat jam perjalanan, kamipun sampai di lokasi. Ups aku belum cerita kemana kita dan mau ngapain. Jadi WALHI mengadakan Training Enviromental Human Rights Defenders di Desa Wisnu Kecamatan Watukumpul Kabupaten Pemalang selama dua malam tanggal 11 – 12 Agustus 2018. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai pembela HAM dan hal-hal yang berkaitan dengannya kepada masyarakat terutama mereka yang sedang menghadapi konflik, salah satunya ya di Desa Wisnu ini. Mereka sedang berjuang agar tambang batu yang mau dilakukan oleh PT. Asa bisa dibatalkan karena ketakutan warga jika hal tersebut dapat menyebabkan bencana longsor dan kerusakan lingkungan di desa mereka.

Disana kami bertempat di rumah Pak Gunawan, salah seorang tokoh Desa Wisnu yang juga ikut berjuang melawan tambang batu PT. Asa. Sayangnya beliau tidak di rumah, melainkan di Jakarta karena istrinya sedang sakit dan harus dilarikan ke RS disana. Setelah cukup persiapan kamipun berangkat menuju ke rumah Mbak Ela dimana tempat pelatihan itu dilaksanakan. Sekitar jam 19.15 WIB kami berjalan kurang lebih 100 meter. Sampai sana segera kami menata tempat acara.

Cukup lama kami menunggu. Setengah sembilan baru bisa kita mulai acaranya. Kupikir warga telat karena pada nonton final U-16 Indonesia melawan Thailand. Akupun sebenarnya ingin sekali nonton, tapi karena ada acara ini ya tidak bisa. Beberapa warga yang datang umumnya sudah tua, ada juga yang paruh baya dan anak muda tapi sedikit. Jadi sebisa mungkin materi harus disampaikan dengan bahasa yang sederhana agar bisa dipahami oleh warga. Aku dapat bagian materi pertama, pengantar HAM. Cukup nerveous juga karena biasanya kalau bahas soal HAM aku yang jadi peserta, maklum masih proses belajar. Jadi ini pertama kali aku ngisi diskusi dengan materi pengantar HAM. Berbekal buku pdf buatan KontraS berjudul Panduan Advokasi Hak Atas Tanah, bukunya Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang berjudul mengorganisir rakyat dan hasil diskusi lain serta sedikit pengalaman yang berhubungan dengan HAM, akhirnya aku bisa menyampaikan materi tersebut.





Tentang Orang-Orang

Sedikit hal yang bisa ku ceritakan dari pelaksanaan pelatihan selama dua malam itu adalah tentang orang-orangnya. Yang pertama-tama hadir ketika itu adalah para orangtua. Saya salut kepada mereka yang tetap bersemangat belajar walaupun sudah berusia senja. Pertanyaan merekapun menyangkut hal – hal sederhana saja. Misalnya apakah rencana pertambangan yang dilakukan oleh Lurah termasuk pelanggaran? Atau apakah yang dimaksud hak kepemilikan? Semua memang mereka pertanyakan agar apa yang menjadi persoalan mereka selama ini dapat dipahami secara lebih jelas.

Kamu pasti tahu lah Pemalang itu termasuk daerah yang menggunakan bahasa ngapak. Yang menarik dari warga disana, mereka prefer menggunakan Bahasa Ngapak ketimbang Bahasa Indonesia meskipun bicara dengan kami yang tidak bisa Bahasa Ngapak. Ya ada memang yang menggunakan Bahasa Indonesia atau jawa kromo, tapi bagi yang udah tua lebih suka pake Bahasa Ngapak. And you know what? Aku cuma bisa bengong dengernya, sambil nahan tawa dikit. Soalnya bukan bahasa ngapak yang sulit, tapi pelafalannya yang cepat membuat kami bingung dan kesulitan menerka artinya kecuali memahami beberapa kata saja.

Tapi aku suka. Menurutku mereka yang sering menanggapi meskipun tidak bisa berbahasa Indonesia ini adalah orang-orang yang berjuang secara total untuk keselamatan desa mereka. Dengan kepolosan dan keluguan yang tampak di raut muka mereka, seolah menunjukkan tidak ada yang mereka inginkan kecuali kenyamanan desa tanpa tambang besar yang mengancam desa mereka.

Ada satu ibu, yang menurutku paling unik. Setiap diajak komunikasi sama pemateri, dimintai pendapat, selalu menjawab, ‘saya orang bodoh mbak, tidak paham apa-apa yang mbak sampaikan, yang penting kita menolak tambang yang merusak itu saja’, tentu dengan bahasa ngapak yang cepat. Meski begitu dia ini paling aktif bicara, kadang sekedar berbisik kepada salah seorang dari kami yang paling dekat duduknya dengan beliau. Aku misalnya, diceritai bahwa ketika aksi di depan kelurahan dia hanya bisa nembang, saya lupa liriknya, sekilas yang kuingat, ‘gununge aja dikeruk, mengko desone ambruk’ . Saya bilang, bagus bu, keren. Nembang justru menjadi tindakan aksi yang paling efektif. Selain tidak menimbulkan kekerasan, menjadi alat kampanye keluar, juga dapat menjadi simbol perjuangan mereka.

Ibu ini juga yang mengatakan, dalam bahasa ngapak, ‘kalau mereka nekat memasukkan bego, kita duduki saja tanahnya’. Betapa polosnya dan kerasnya ia menolak pertambangan ini. Saya melihat ibu itu dan membayangkan ibuku sendiri, dengan sendirinya saya merasa seperti anaknya yang seharusnya tidak membiarkan ibu berjuang sendiri. Itulah mengapa saya suka dengan ibu-ibu disini. Mereka sudah sadar siapa lawannya, siap dengan resikonya, dan yang jelas mau ikut berjuang bersama kaum pria. Benar-benar saya salut.

Bukan hanya ibu, bapak-bapaknya pun semangat berdiskusi. Bapak Heri misalnya. Tanya apakah aksi harus perwakilan saja, soalnya dia pernah minta izin tapi kata polisi aksinya jangan banyak-banyak, perwakilan saja, ya maksimal 15 orang lah. Mbak Etik lantas menjawabnya, aksi tidak perlu izin pak, hanya pemberitahuan ke polisi, dan tidak ada aturannya aksi harus perwakilan. Siapapun boleh dan jumlahnya tidak dibatasi. Ya memang kadang yang seperti ini masyarakat perlu tahu, biar gak dibodohi lagi sama polisi atau orang-orang pinter lainnya.

Pulang

Jadi sesudah materi pengorganisiran gerakan, kita tutup kegiatan EHRD di Pemalang ini. Setelah itu kita foto bersama, makan, dan pamit pulang. Kami berterimakasih kepada masyarakat Desa Wisnu dan tuan rumah yang telah menerima kami dengan ramah. Terimakasih pula atas partisipasinya mengikuti diskusi selama dua malam. Semoga bermanfaat dan berguna bagi perjuangan masyarakat Desa Wisnu ini.

Kami pamit, dan bersalaman juga berpelukan. Ibu yang tadi kuceritakan berharap sekali kami dapat mampir ke rumahnya. Ku bilang, lain kali jika ada kesempatan. Karena beliau tidak hafal nomernya, ku kasih nomorku supaya beliau bisa menghubungi. Selamat tinggal Pemalang, sampai jumpa. Kami bersama – sama pulang menuju Semarang, kecuali Mas Irham. Katanya dia mau sekalian ke Tegal menemui temannya. Malam itu juga Patria sudah siap tancap gas. Tiga jam kita sampai di Semarang. Hebat ni anak, lewat pantura malem-malem bisa secepat itu. Haha.

0 Comments