Catatan Harian
Berpikir Ala Gus Dur
Gus Dur, begitu sapaan akrab sang guru bangsa yang pada akhir Desember lalu diperingati Haulnya yang ke sembilan. Gus Dur dikenal oleh banyak orang sebagai sosok yang multidimensi. Dari seorang kyai sampai Presiden. Dari tokoh NU sampai Bapak Tionghoa. Dan dari cendekiawan sampai budayawan. Begitu dalam dan luasnya pemikiran beliau, sehingga layaklah jika dirinya dijuluki sebagai Sang Guru Bangsa.
Sepeninggal beliau banyak yang menyatakan rindu akan sosoknya. Terutama ketika bangsa ini diterpa oleh banyaknya cobaan terkait persoalan toleransi, kemanusiaan, dan HAM. Sebab pemikirannya yang kritis, rasional, dan apa adanya itu mampu memberi pencerahan bagi masyarakat.
Tetapi kita tidak boleh berhenti pada kerinduan itu semata. Gus Dur telah tiada, biarkan dia tenang bersama kawan-kawan seperjuangannya disana. Disini kitalah yang mesti menghidupkan nilai-nilai Gus Dur, agar tidak sekedar melihat persoalan yang terjadi. Untuk itulah perlunya kita berpikir ala Gus Dur.
Berpikir ala Gus Dur bisa dilakukan apabila kita mengenal sosok beliau. Seorang yang santai dan humoris, namun tidak pernah jauh dari substansi permasalahan. Bagi generasi milenial yang tidak sempat berjumpa dengannya, bisa mengenal Gus Dur melalui tulisan-tulisannya yang terkumpul dan tersebar dalam berbagai judul buku. Atau juga bisa mendengarkan cerita para sahabat ataupun orang-orang yang mendalami pemikiran beliau.
Seperti yang beberapa waktu lalu penulis dan teman-teman lakukan dalam rangka peringatan Haul Gus Dur. Dalam momen tersebut, selain ada penampilan seni sastra, musik, bahkan barong, juga ada refleksi untuk mengenang, meneladani, dan melanjutkan perjuangan Gus Dur. Disitulah kita banyak mendengarkan kisah tentang Gus Dur.
Misalnya oleh Pendeta Tjahyadi Nugroho, yang merupakan sahabat Gus Dur, kita diajarkan untuk bisa bersikap jujur dalam menghadapi perbedaan. Bahwa Gus Dur pernah bercerita apabila agama itu ada banyak dan memiliki Tuhannya masing-masing, maka apakah sesungguhnya surga dan neraka juga ada banyak sesuai keyakinan para penganut agama? Maka dalam beragama, kita harus jujur, perbedaan itu pasti ada tetapi tidak untuk dipermasalahkan.
Oleh Romo Aloys Budi, kita diperkenalkan pada sosok Gus Dur yang mencintai perbedaan. Sebagaimana penyelenggaraan Haul Gus Dur tersebut, melalui berbagai penampilan seni, dan diadakan di sebuah pastoran tempat tinggalnya, mencerminkan keterbukaan Gus Dur untuk menerima perbedaan, yang pada kesempatan itu dilakukan oleh anak-anak muda Gusdurian.
Kita juga mendengar dari Pak Iman Fadhilah, Dosen UNWAHAS, tentang Gus Dur yang selalu ingin belajar mengenai berbagai hal. Ia tidak suka mempelajari sesuatu yang sudah diketahui atau dikuasainya. Itulah mengapa pendidikannya di Timur Tengah tidak ia ikuti, sebab ia merasa telah mendapat semua pelajaran itu sewaktu di Indonesia.

Kang Shobary bercerita ketika Gus Dur sakit dan dirawat di rumah sakit, ia dijenguk oleh seorang Romo Kardinal dan ditanya mengenai sakitnya. Gus Dur malah menjawab, “kemarin hanya main kesini, ketemu dokter, lhakok disuruh naik kesini. Trus ndak boleh pulang”.
Bayangkan, seorang Romo Kardinal diberi jawaban sesantai itu, seperti sedang bicara hal remeh, tidak ada kalau bukan Gus Dur, katanya.
Juga ketika ia bercerita, seorang kyai mendatangi Gus Dur dan mengeluhkan doa agar anaknya yang pindah Agama Kristen segera bertaubat tidak diijabah oleh Allah, padahal dia sudah beribadah dengan tekun. Gus Dur menjawab, “kamu itu jangan mengeluh pada Tuhan, dia juga bingung anaknya satu-satunya, Yesus juga masuk Kristen”. Sontak para hadirin yang mendengarpun tertawa.
Begitu sederhana dan santainya Gus Dur menyikapi hal yang bagi sebagian orang menjadi masalah. Seperti ketika menganggap bendera Papua yang dikibarkan sebagai umbul-umbul biasa. Dari Kang Shobary itulah kita diajari untuk berpikir sederhana seperti Gus Dur dengan jargon umumnya, gitu aja kok repot.
0 Comments