Sebentar lagi Indonesia akan menghelat pemilihan umum yang diadakan setiap lima tahun. Sebagai salah satu praktik berdemokrasi, pemilu merupakan sebuah mekanisme yang menempatkan rakyat sebagai penentu siapa orang-orang yang pantas mengurusnya (pemimpin). Tetapi pertanyaannya, benarkah pemilu hari ini telah mempresentasikan para kandidat yang layak mengurus negara ini?

Tulisan ini hendak merefleksikan bagaimana pemilu dapat dianggap demokratis, dan oleh karena itu merepresentasikan harapan untuk memiliki pemimpin yang sesuai dengan amanat rakyat. Pula sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa demokratisasi mesti dibaca dalam kerangka kritis. Semata agar kita memahami bahwa sistem pemilu yang sedang berjalan tak boleh dipandang naif.

Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Negara Indonesia menyatakan bahwa negara ini ditegakkan berdasar atas hukum dengan bentuk negara republik yang demokratis. Ini merupakan konsensus yang telah disepakati bersama oleh para pendiri bangsa. Tetapi alangkah baiknya kalau kita pahami dulu apa itu demokrasi.

Jika ditelusuri berdasarkan akar katanya ysng berasal dari Bahasa Yunani, maka demokrasi adalah demos: rakyat dan kratos: pemerintahan, secara istilah disebut dengan pemerintahan oleh rakyat. Jurgen Habermas menjelaskan bahwa kelahiran demokrasi di Eropa berasal dari ruang publik (offentlichkeit) yang tumbuh di kalangan kelas borjuis. Ruang publik adalah suatu ruang di mana para anggota masyarakat dapat berdiskusi dan berdebat mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak (public interest). Ruang publik adalah bentuk ideal dari partisipasi masyarakat dalam membicarakan kepentingan publik secara terbuka dan rasional. Demokrasi meniscayakan adanya ruang publik dan kebebasan berpendapat (Mujiburrohman, 2008: 50).

Al-Jabiri mengatakan bahwa jika definisi demokrasi diambil berdasarkan akar katanya, maka akan menimbulkan keambiguan dan kesamaran. Sebagaimana kata langit, ketika kita mendengarnya kita pasti tertuju pada satu makna bahwa ia adalah yang ada di atas dan merupakan lawan dari bumi. Tetapi apakah ini adalah makna satu-satunya yang terkandung dalam kata langit? Tentu tidak. Dulu langit merupakan ungkapan tentang alam yang rumit dan misterius. Sekarangpun konotasi langit semakin dalam dan luas kemisteriusannya. Itulah analogi yang dipaparkan al-Jabiri mengenai demokrasi yang dirasa masih sulit untuk didefinisikan secara pasti.

Walaupun penggalian makna demokrasi dilakukan dengan menelusuri sejarahnya, hemat al-Jabiri kita akan tetap sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi sejauh perkembangannya sampai saat ini telah mengalami perubahan secara terus-menerus. Yakni ketika kita memaknai demokrasi yang dalam Bahasa Yunani sebagai “pemerintahan rakyat oleh rakyat”, menurut al-Jabiri tidak akan pernah terwujud karena pasti akan berimplikasi pada ide yang berhadapan dengannya yaitu negara. Karena kata pemerintahan hanya dapat dimaknai ketika ada pemerintah dan yang diperintah. Dalam hal ini harus ada alat atau sarana yang dapat menjembatani keduanya. Negara merupakan alat atau sarana untuk mewujudkan adanya para pemegang pengaturan-pengaturan dalam rakyat. Maka konsep mengenai demokrasi menurut al-Jabiri lebih tepat dimaknai dengan ide pemilu, hak bagi semua orang dalam masyarakat untuk memilih (Al Jabiri, 2003: 4).  Selain itu al-Jabiri juga menilai demokrasi sebagai satu-satunya model pemerintahan yang bertujuan untuk mencapai persamaan yang bebas dari tirani dan ketidakadilan, dan pemihakan pada kaum lemah.

Demokrasi datang bukannya tanpa cacat. Ia yang berasal dari ruang publik (offentlichkeit) yang tumbuh di kalangan kelas borjuis sampai sekarang masih banyak dimanfaatkan oleh kaum borjuis terutama mereka yang berideologi kapitalisme untuk menggiring opini dan massa. Dalam hal ini penulis menggunakan pandangan Al-Jabiri yang mengkritik konsep demokrasi tersebut.

Demokrasi yang banyak dimaknai sebagai kebebasan politik agar warga negara dapat melaksanakan kewajiban dalam memilih dan kebebasan ekonomi yang mengansumsikan bahwa setiap individu bebas melakukan kegiatan ekonomi berdasarkan sarana-sarana dan peluang yang dimilikinya tanpa adanya kontrol dari siapapun telah meniadakan demokrasi itu sendiri. Karena kebebasan politik dan kebebasan ekonomi hanyalah bagi mereka yang bisa menikmatinya, yakni hanya kelas pemilik modal. Mereka yang dapat mengontrol serta memanipulasi hasil pemilu dan menguasai kegiatan perekonomian sesungguhnya telah meniadakan demokrasi bagi masyarakat lapisan bawah.

Golput adalah Tindakan Demokratis

Jika mengacu pada paparan yang disampaikan oleh Al-Jabiri di atas maka kita dapat mulai merefleksikan sejauh mana pemilu saat ini sebagai agenda demokrasi dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai persamaan yang bebas dari tirani dan ketidakadilan, dan pemihakan pada kepentingan rakyat.

Sebagaimana diketahui, pilpres tahun ini menghadirkan dua calon presiden yang sama seperti para calon pada pemilu lima tahun silam. Keduanya kembali bertarung untuk memenangkan suara agar dapat terpilih sebagai presiden. Saya tidak akan mengatakan kecewa karena tidak ada sosok baru yang tampil untuk maju sebagai calon presiden, tetapi yang menjadi dasar penilaian adalah rekam jejak para calon yang selama ini telah banyak mengecewakan hati masyarakat. Sebut saja singkatnya, Jokowi dengan rezim infrastrukturnya telah banyak merampas ruang hidup dan melegitimasi penggusuran di berbagai wilayah, dan Prabowo yang kita tahu punya catatan buruk pada pelanggaran HAM masa lampau. Lebih mengecewakan lagi ketika kita tahu keduanya disokong oleh para oligarkis yang telah banyak merugikan negara ini.

Jika demikian yang ada, maka kecil kemungkinan (untuk tidak mengatakan mustahil) ada salah satu calon yang dapat mewakili kepentingan masyarakat bawah yang mengalami ketidakadilan. Dengan demikian maka pilihan demokratis yang tersedia adalah menjadi golput. Golput bukan hanya soal tidak memberikan suara pada calon manapun, tetapi sebagai sebuah sikap penolakan untuk memberikan dukungan pada pelanggar HAM atau turut melegitimasi berbagai tindakan peminggiran dan diskriminasi pada kaum mustadh’afin. Tindakan ini bagi saya adalah sebuah bentuk tindakan demokratis yang saat ini dapat dilakukan ketika demokrasi itu sendiri menjadi tunggangan para oligarkis untuk terus menancapkan kekuasaannya atas negara kita.

0 Comments