Minggu, 10 April 2020, hari itu aku berencana pergi dengan sahabatku yang satu ini, sebut saja dia T. Sebelumnya aku belum pernah bercerita apapun tentang dia. Ya mungkin karena sebelumnya kita berjauhan dan hanya sesekali berkomunikasi. Akupun baru aktif menulis di sini pada pertengahan masa kuliahku. Jadi wajar saja, tidak ada tulisan mengenai dia. Jadi sekarang aku mau kenalin dulu siapa itu T.

T adalah sahabatku sejak di MTs, tepatnya waktu kita kelas VIII karena ketika itu kita satu kelas. Aku dan T juga bersahabat dekat dengan H. Sampai sekarang kita masih saling komunikasi. Dengan T sebenarnya aku sudah mengenalnya sejak kecil karena dia satu desa denganku. Kita TK satu kelas, SD beda tapi masih satu lingkungan, sekolah madrasah sore satu kelas tapi ya tidak begitu dekat. Hanya kenal saja. Jadi wajar jika kita baru bersahabat waktu di MTs.

Ketika lulus MTs, aku sekolah di SMA A, sedangkan dia di SMA B. Waktu Kuliah juga kita berbeda kampus, tapi masih satu kota. Jadi selama perpisahan itu kita hanya terhubung melalui HP, dan bertemu sesekali waktu lebaran sekedar untuk reoni.

Sekarang kami sudah sama-sama lulus dan menjalani kehidupan yang sebenarnya (ciahh). Dia sekarang bekerja di sebuah media online sebagai content writer, dan aku hanyalah penulis pengais receh. Saat catatan ini ditulis, aku telah dua bulan berada di rumah setelah sebelumnya empat bulan aku berada di Kediri.

Buat kamu yang pernah membaca catatanku sebelumnya pasti mengerti soal nasib asmaraku yang mengenaskan. Sebenarnya tidak begitu mengenaskan karena pasca ditolak hubungan kami masih tetap baik. Hanya saja, aku benar-benar butuh waktu untuk bisa move on darinya. Di Pare aku kesulitan sebab dia pun berada di sana, di tempat kursus yang sama denganku pula. Ketika empat bulan usai dan aku pulang, sepertinya aku sudah mulai bisa melupakan dia. Apalagi, ada T yang hampir tiap hari menjadi teman obrolanku.

Kembali di hari Minggu itu. Aku dan T pergi ke kota, niatnya T mau berbelanja pakaian, tapi setelah memilih-milih ia tak jadi membeli. Ia juga mau mencari minyak rambut seleranya, tapi tidak ketemu. Bahkan kita sampai menjelajah indomaret dan alfamart untuk menemukan yang dia cari. Tidak juga ketemu. Akhirnya dia beli sosis dan susu untuk menambah berat badan katanya. Sedangkan keperluanku hanya memperbaiki helm saja.

Selama kita pergi dia banyak bercanda. Memang orangnya humoris. Masak lagi puasa nawarin beli eskrim? Itu mah ga niat beliin namanya. Nawarin mampir warung pula. Aku iyain aja dah. Tapi ya karena bercanda ga beneran mampir dong. Sekitar dua jam kita berkeliling kemudian kita pulang.

Sejam setelah itu, pas aku mau tidur siang, kulihat notifikasi. Di twitter dia tag aku dengan sebuah pertanyaan, “gimana kalo kita nyoba nikah dulu?”. Sontak aku shock. Ini maksud dia apa dah bilang begini? Aku lihat dan baca thread dimana ia tag aku. Thread itu bercerita tentang pasangan suami istri yang terpaksa menikah tanpa cinta, tapi lambat laun merekapun saling mencintai.

Aku pikir berulangkali. Kenapa dia tiba-tiba bertanya begitu? Dugaan sementara muncul begitu saja. Apa dia sudah kebelet segera nikah? Aku ga mau lah nikah cepet. Atau, dia ingin kita menikah meskipun tanpa cinta, itu artinya dia saat ini ga cinta ama aku, dan berharap bisa mencintaiku setelah menikah dengannya. Atau sebaliknya, dia takut aku tidak mencintainya, jadi memintaku menikahinya agar kelak dapat pelan-pelan mencintainya. Pikiranku benar-benar liar waktu itu.

Aku bertanya balik saja padanya, “Hmm.. Lu bertanya serius apa bercanda?” dia jawab, “Kalo aku serius apa kamu juga serius?” Kenapa kita malah saling bertanya sih. Lalu aku suruh pindah ke chat wa aja. Malu lah masak ngomongin ginian di komentar thread orang.

Di WA, dia chat, “gimana?”. Aku bilang, “Casenya beda ama kita. Kita udah kenal sejak kecil. Dan jujur saja, akhir-akhir ini aku ngerasa beda antara kamu yang dulu dan sekarang. Aku ga tau apa ini disebut cinta, tapi aku nyaman.” Dan dia bilang, “so do I, aku merasa di antara yang lain yang paling nyambung obrolannya ama kamu. Kadang aku memikirkan kemungkinan kalau kita menikah”. What? Kok sama sih… Hahaa.

Aku bilang, tapi aku tidak mau menikah cepat. Diapun sama, katanya buat dia nikah di umur 28-30, sedangkan aku 26-28. Jadi kita sepakat untuk menikah kalau tidak di usia 27 ya 28. Dia ingin mengejar cpns dan menulis buku katanya. Kalo aku? Aku hanya ingin bebas aja sih sebelum benar-benar berurusan dengan masalah keluarga. Dan percakapan kita sampai pada kesimpulan, ya lihat nanti kedepannya. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Seolah kita tidak percaya diri untuk memutuskan hal ini.

Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin kuajukan padanya. Seperti, sebenarnya dia cinta ga sih sama aku? Bagaimana hubungan kita selanjutnya? Bagaimana dengan orang-orang di sekitar kita? Sahabat keluarga? Apa akan ada yang berubah setelah ini?  Tapi semua pertanyaan itu baru terpikir sehari setelah chat siang itu. Aku bahkan tidak meminta dia bertemu dulu untuk memastikan keseriusannya.

Dan sekarang aku sedang mencoba menata pikiran yang penuh tanda tanya itu dengan bersikap seperti biasanya saja. Status kita masih sahabat. Hubungan kita masih sama seperti sebelumnya. Cuman untuk urusan menikah bagiku harus dilandasi dengan cinta. Apakah dia akan mencoba mencintaiku selama 3 tahun ke depan? Entahlah, sebab sampai hari ini aku merasa ada kecanggungan dengannya.

0 Comments