Aksi Tolak Omnibus Law di Ibu Kota (2)
Kamis, 8 Oktober 2020. Pukul sembilan pagi aku memesan ojek online menuju kantor Walhi Jakarta (Waljak). Sesampainya di sana kulihat cukup ramai daripada biasanya. Rupanya mereka adalah mahasiswa yang sedang magang di Waljak, dan rencananya akan ikut aksi hari ini. Hari ini merupakan pertama kalinya aku mendatangi kantor Waljak yang baru. Lokasinya tidak jauh dari kantor yang lama. Rumah itu lebih luas dari yang sebelumnya. Begitu masuk aku langsung saja menuju ruangan Rere. Di sana juga kutemui Dabuy, Bagas kecil, dan Ari. Ada juga Anca yang kulihat sedang tidur di ruangan lain. Tak lama setelahku datang juga Riva dan Detha.
Sampai pukul 11.30 kami menunggu rombongan anak pelajar aka
teman-teman Ari sejumlah 15 orang. Setelah itu Rere mulai membagi kelompok
untuk berangkat menuju titik aksi. Tiap mobil diisi empat orang. Jumlah total
kami ada 36 orang, sehingga dibutuhkan 9 aplikasi untuk memesan mobil online, aku
salah satu yang memesan.
Ketika itulah terjadi sedikit drama. Jadi, karena plat mobil
yang aku dan kelompok Detha pesan memiliki kode huruf belakang yang sama: SIB,
terjadilah salah angkut penumpang. Mobil yang kupesan ternyata datang lebih
dulu dibanding mobil yang dipesan Detha, padahal waktu pesannya duluan Detha. Tanpa
melihat nomornya, mereka naik saja ke mobil yang seharusnya menjemput
kelompokku. Ketika kulihat mobil itu berlalu begitu saja (tanpa aku tahu
ternyata sudah ada kelompoknya Detha di dalamnya) akupun berusaha menelponnya
untuk kembali karena kami belum naik. Aku sempat agak emosi karena pesananku
telah kubayar dengan OVO.
Setelah itu datanglah Rere yang menjelaskan kalau mobil kami
tertukar. Aku sempat tidak percaya, karena kupikir Detha telah menaiki mobil
pesanannya sendiri. Setelah beberapa waktu datanglah mobil dengan huruf
belakang sama namun angka berbeda. Barulah aku percaya kalau mobil Detha memang
datangnya belakangan. Akhirnya kamipun menaiki mobil itu. Aku yang tadi emosi
lalu ketawa-tawa sambil bersyukur: untung pengemudinya belum kukasih bintang
satu. Kalau sudah, tentu merasa berdosa banget aku.
Belum juga sampai di titik pendaratan (RSCM), tepatnya satu
km sebelumnya kita sudah tidak mungkin melanjutkan perjalanan menggunakan mobil
itu. Terpaksalah kami turun dan berjalan dari sana sambil menghubungi Dabuy
yang sudah sampai lebih dulu. Aku, Riva, dan dua orang pelajar berjalan hingga
menemui massa aksi para buruh dan mahasiswa dengan orasi, yel-yel, dan
pekikannya masing-masing. Bertemu dengan rombongan Dabuy, kami masih harus
menunggu rombongan lainnya. setelah itu kamipun berjalan menuju rombongannya
Anca dan bang Aeng. Di situ kami masih harus menunggu rombongannya Rere. Setelah
semua berkumpul mulailah kita bersama-sama berjalan beriringan dengan massa
aksi yang lain menuju titik aksi: istana Negara.
Oh ya, di postingan aksi sebelumnya aku sudah cerita kalau
sepatu putihku membuat kakiku sakit. Hari ini aku juga memakai sepatu itu. Bukannya
aku tidak belajar dari aksi sebelumnya, namun sepatu yang kupunya hanya ini. Masak
aksi pakai sandal? Kan tidak mungkin. Aku juga mengira aksi ini tidak akan
longmarch lagi sehingga kakiku tidak akan merasakan sakit seperti yang
sebelumnya. Ternyata dugaanku itu salah besar. Belum sampai titik kumpul saja
aku sudah harus berjalan satu kilometer. Dari titik itu kita kembali berjalan
menuju istana. Akhirnya sakit di kakipun kurasakan. Aku tahan dan pasrah saja.
Aksi keduaku Tolak Omnibus Law di Ibu Kota kali ini terasa
sekali atmosfer riuh ramainya. Selain karena momennya
adalah pasca pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR pada 5 Oktober lalu, aksi
penolakan juga marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sehingga semangatnya
di Ibu Kota menjadi lebih besar. Aku yang baru pertama kali mengikuti aksi
sebesar ini, seharusnya bisa menikmati dan memaksimalkan pengamatan dan
penjelajahan untuk mengetahui lebih banyak berbagai segmen pada aksi kali ini. Sayangnya,
kaki yang sudah pegal dan sakit gara-gara sepatu itu membuat semangatku turun. Terlebih
tak adanya persiapan lebih untuk keamanan diri seandainya berada pada situasi
ricuh membuatku cukup was-was dan lebih banyak menghindari hal tersebut.
Dan benar, kericuhanpun terjadi. Aku tidak tahu apa yang
terjadi di depan, namun di langit sore itu Nampak asap hitam membumbung dari
arah depan sana. Saat itu kami berada di sekitar gedung Perpustakaan Nasional
dan Monas. Berada di pepohonan tengah jalan, Aku, Riva, dan Detha standby,
sementara Rere, Anca, dan Dabuy bergerak lebih ke depan. Di lokasi kami sudah ada
korban akibat gas air mata di dekat mobil ambulance. Seorang anak muda,
kira-kira seorang pelajar nampak kejang-kejang. Bagas ikut membantu memberikan
oksigen, dan aku memberikan sisa air minum yang kupunya. Setelah itu kami
serahkan korban ke paramedis yang ada di sana.
Ketika aku sedang mencari air untuk keperluan minum, tiba-tiba orang-orang berhamburan lari. Aku pun segera menuju Riva lalu lari bersama dia dan Detha. Beberapa yang lewat meminta jalan terlihat lemas karena gas air mata. Jelas di depan sana telah terjadi chaos besar. Sore itu pun kami bertiga-disusul enam orang pelajar teman Ari-selalu bersama dan mencari tempat aman. Setelah berdesakan di sepanjang jalan itu kami memilih belok kanan, di bawah jalan layang. Meski keadaan cukup panas, kami masih sempat beristirahat dan membeli es starling yang melintas di sana. Di situ pula aku bebaskan sebentar kakiku dari kesakitan akibat sepatu yang kupakai. Sungguh, sepatu ini benar-benar menyiksa.
Di lokasi itu kami berkali-kali lari bolak-balik dari ujung ke ujung, mencari jalan yang tepat untuk melarikan diri, sebab di lokasi itu pun rasanya sudah tidak aman lagi. Sudah banyak orang berlindung di tempat ini, sehingga lokasi ini pasti nantinya akan diserang juga. Akhirnya kami pun memilih memberanikan diri menuju salah satu ujung. Kami menyeberang dan berlari, saat itulah semakin terasa gas air mata yang pedih dan panas dan membuat napas kami tersengal-sengal.
Kami berlari hingga sampai di stasiun Gondangdia. Di situ
pun banyak massa aksi yang beristirahat dan berjalan menuju ke atas, untuk menaiki
kereta dan kembali ke tempat asalnya, mungkin. Kami masih bersembilan saat azan
magrib berkumandang. Bang Edo berpesan supaya aku berkabar di mana lokasiku
setiap sepuluh menit. Bang Boy juga sempat menelepon untuk memastikan keadaan
dan lokasiku.
Setelah melihat ketidakmungkinan naik kereta untuk kembali, kamipun memutuskan untuk berjalan lagi. Sebenarnya di situasi itu aku lebih menyandarkan semua keputusan di Detha karena dia yang paling tahu lokasi Jakarta. Akhirnya kami pun berjalan-entah berapa kilometer- menuju taman Suropati. Kata Detha, di sana pasti aman.
Di tengah jalan menuju taman itu, kami sempat berhenti di
toko kecil untuk membeli minum. Sebelum berhenti di situ, aku sudah melepas
sepatuku dan aku tenteng. Aku lebih memilih berjalan dengan kaki telanjang
daripada harus tersiksa memakai sepatu sialan itu. Setelah sepatu kulepas rasanya
seperti hilang satu beban hidupku, legaaaa.
Saat itu kurang lebih pukul tujuh ketika kami beristirahat
di taman Suropati. Aku berbaring di pinggir taman itu, melepaskan penat. Sayang
sekali kemudian petugas di sana mengusir kami. Katanya taman sedang ditutup
jadi kami tidak boleh berada di sana meskipun itu hanya di luarannya saja. Kami
kembali berjalan menuju tempat yang memungkinkan kami untuk duduk. Ketemulah halte
bus. Di situ aku dan seorang pelajar memesan mobil untuk kembali ke kantor
Waljak. Karena berada di situasi demo besar, dan rombonganku berisi lima orang
(aplikasi hanya boleh 3 orang) biaya ojek pun bertambah, dari yang seharusnya
50k menjadi dua kali lipatnya, 100k. kamipun mengiyakan, yang penting sampai di
kantor dulu.
Dari pesan Whatsapp yang dikirim Gopang, barulah aku tahu halte
transJakarta dan pos polisi tugu tani kebakaran. Sayang sekali aku tidak sempat
menyaksikan itu secara langsung. Tapi, kalaupun aku berada di sana aku pun
tidak tahu lagi harus kemana dan bagaimana kalau sendirian. Apalagi kakiku,
ahh.. Sudah kapoklah aku memakai sepatu ini untuk aksi.
0 Comments