Pendahuluan: Melihat Kecantikan, Memahami Ras di Indonesia Transnasional
Di Indonesia, kulit cerah telah menjadi warna yang diinginkan sampai batas waktu yang bisa kita bayangkan. Seperti yang akan diperjelas dalam buku ini, di beberapa literatur tertua yang masih ada di Indonesia, misalnya sajak epik Ramayana, yang diadaptasi pada akhir abad 19 dari kitab asalnya di India, perempuan berkulit cerah mendominasi standar kecantikan waktu itu. Baik Ramayana versi India maupun Indonesia, perempuan cantik dideskripsikan sebagai yang memiliki wajah putih bersinar, seperti cahaya rembulan. Seribu tahun kemudian selama awal abad dua puluh ketika kolonialisme Belanda secara penuh berkuasa di Indonesia, gambaran cantik putih kaukasian digunakan untuk mengilustrasikan lambang kecantikan dalam iklan-iklan yang ditampilkan di berbagai majalah perempuan. Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan sebagai penguasa kolonial baru di Indonesia dari 1942 hingga 1945, mereka mempropagandakan standar kecantikan baru ala Asia, namun putih tetap menjadi warna kulit pilihan. Pada masa poskolonial Indonesia, khususnya sejak akhir 1960-an ketika presiden pro-Amerika Soeharto berkuasa, budaya populer Amerika telah menjadi salah satu pengaruh kuat terhadap bagaimana standar cantik putih Indonesia diartikulasikan dan diterima. Sirkulasi transnasional tentang idealita kecantikan di setiap periode sejarah yang berbeda tak ayal telah mengukuhkan preferensi kulit cerah dan mengkonfigurasikan tidak hanya kecantikan, namun juga diskursus mengenai ras, gender, dan warna kulit di Indonesia. Popularitas produk pemutih kulit – yang berperingkat pertama di antara seluruh produk-produk penghasil pendapatan di industri kosmetik di Indonesia – sejauh ini menjadi bukti atas preferensi kulit cerah.
Saya akan melacak sirkulasi standar kecantikan dari berbagai
negara dan Indonesia dari periode prakolonial hingga poskolonial dan
menjelaskan bagaimana sirkulasi transnasional idealita kecantikan membentuk
konstruksi atas ras, gender, dan warna kulit di Indonesia. Selain itu, saya
menawarkan perspektif baru dalam konstruksi transnasional atas
kategori-kategori identitas dengan cara menyampaikan cerita ini melalu lensa
“perasaan” dan emosi. Terkait perasaan, saya merujuk ke definisi filosof Teresa
Brennan mengenai istilah “pergeseran psikologis yang menyertai sebuah
penilaian” (2004, 5). Ialah bagaimana tubuh merendahkan diri saat melihat
subjek yang ditakuti atau tersentak saat melihat makhluk yang indah. Memahami
kapan, bagaimana, dan mengapa tubuh mengalami suatu emosi terhadap tubuh tertentu
membantu kita untuk memahami struktur sosial yang lebih luas di mana makna atas
tubuh tersebut dan berbagai respon atasnya masuk akal. Intinya, buku ini
adalah penjelajahan teoritis mengenai cara-cara di mana emosi manusia dibuat nampak
dan diedarkan melalui representasi kesan
cantik yang melintasi berbagai lokasi geografis yang berbeda dan
bagaimana mereka membentuk diskursus dan hirarki atas ras, gender, dan warna
kulit secara transnasional.
Oleh karena itu, saya akan memperhatikan secara saksama dan
kritis bagaimana idealita kecantikan yang melintas secara transnasional
mengedarkan “perasaan” tentang orang-orang dari ras, warna kulit, dan gender
tertentu. Melalui perasaan tersebutlah makna ras, gender, dan warna kulit
tertuju. Dengan melabuhkan analisis saya pada teori perasaan dan studi budaya
feminis atas emosi, saya menyatakan bahwa ras, gender, dan warna kulit dibangun
secara afektif. Dengan menunjukkan pentingnya perasaan, panca indera, dan emosi
di dalam proses-proses pembentukan subyektivitas di dalam konteks
transnasional, buku ini memajukan pemahaman terbaru kita mengenai ras, gender,
dan warna kulit sebagaimana yang telah dibangun secara visual dan sosial.
MELIHAT DAN MERASAKAN
“Melihat adalah mempercayai”, kata pepatah tua. Dan bahkan
seorang filosof postmodern seperti Judith Butler yang mempermasalahkan frasa
dari peribahasa sederhana (“area visual itu tidak netral terhadap masalah ras;
ia sendiri adalah formasi rasial, sebuah episteme, hegemonik, dan kuat”) akan
setuju pada pentingnya area visual dalam klaim kita “untuk mengetahui” (1993,
17). Berdasarkan kedua versi, produksi pengetahuan (dan formasi ras), atau, mungkin,
“kebenaran-kebenaran”, tak terpisahkan dari struktur di mana alat visual kita
menginterpretasikan area visual, yang mungkin dimanipulasi.
Para ilmuwan telah menyatakan bahwa bagi orang-orang tanpa
gangguan penyakit mata, indera penglihatan adalah kemampuan paling tinggi dan
penting dari semua indera manusia; manusia adalah makhluk visual (Tuan,
1974/1990, 6; Blauert 1983 dikutip di Rodaway 1994, 92). Melihat, bagaimanapun,
dapat menjadi pedang bermata dua. Walaupun kaum feminis bergerak di bawah
premis bahwa “terlihat” itu secara politik bermanfaat dan diinginkan, dua ahli
studi budaya ras dan feminis Sara Ahmad dan Jackie Stacey memperingatkan bahwa melihat
mungkin juga membawa dampak pada pengawasan yang tidak diinginkan (Ahmed dan
Stacey 2000, 16).[1]
Seperti halnya melihat, merasakan juga sebuah alat
epistemik. Merasakan memberi kita makna melalui hal yang membuat kita memahami
dunia “nyata” dan bagaimana hidup di dalamnya (Rodaway, 1994, 7; Davidson 2003,
92). Ahli geografi Paul Rodaway mendefinisikan indera[2] sebagai:
Bukan semata reseptor pasif dari jenis rangsangan lingkungan tertentu
namun . . . secara aktif terlibat dalam pembentukan informasi tersebut dan . .
. signifikan di dalam merasakan secara keseluruhan sebuah dunia yang dicapai
oleh makhluk berakal. Melalui cara ini, indera dan realitas terhubung. (1994,
4)
Sehingga, indera, sebagai sebuah alat kritis di dalam proses
produksi pengetahuan dan pembentukan subjektivitas, “memberi kita informasi
tentang sebuah dunia di sekeliling kita dan, melalui struktur mereka dan cara
kita menggunakannya, . . . memerantarai pengalaman itu” (Rodaway 199, 3).
Karena indera berfungsi sebagai alat mengetahui, mereka tidak pernah
salah dan selalu spesifik secara historis, politik, dan sosial (Rodaway, 1994,
7).
Bergantung pada suatu indera dan menjadikan mereka berguna
dalam proses produksi pengetahuan, bagaimanapun, tidak bisa memberi kesan bahwa
kita tidak bisa mempertanyakan validitas mereka (Jaggar 1989, 163). Filosof
feminis Alison Jaggar menandaskan, “emosi itu tidak presosial,
tanggapan-tanggapan psikologis terhadap situasi-situasi nyata, emosi terbuka
untuk meragukan berbagai alasan” (1989, 163). Sehingga, emosi tidak lebih
“otentik” dibanding “alasan” (Harding dan Pribram 2009, 5-6). Mereka juga tidak
bisa berfungsi sebagai sebuah “otoritas epistemologis” yang lebih baik di dalam
proses produksi pengetahuan (Skeggs 2000, 28). Baik emosi dan alasan sama-sama
penting dan tak terpisahkan satu sama lain (Tuan 1977, 10; Jaggar 1989, 165).
Bahkan, Kembali ke tradisi kuno India, merasa telah dibentuk sebagai sesuatu
yang tak terpisahkan dari pola pikir (Santoso, 1980, 15). Memasukkan emosi ke
dalam dunia pengetahuan kita dengan demikian adalah tuntutan “sebuah basis
epistemologis” bagi eksistensi mereka di penelitian kita (Harding dan Pribram
2003, 882).
Buku yang membahas sirkulasi dan representasi emosi manusia
dalam citra yang menggambarkan kecantikan ini bertujuan untuk mengungkapkan
bagaimana relasi kuasa diartikulasikan di dalam istilah-istilah yang bersifat
gender, rasial, berwarna, dan transnasional. Kacamata teoritik emosi membantu
kita untuk melakukannya karena emosi diartikulasikan, beredar, dan tampil
melalui relasi kuasa (Harding dan Pribram 2004, 17). Emosi bahkan dapat berguna
untuk mengaburkan relasi kuasa dan menjadikannya terlihat alami di dalam
kehidupan sehari-hari (Probyn mengutip Harding dan Pribram 2009, 6). Memandang
emosi sebagai sebuah sistem kekuatan dengan demikian merujuk pada cara
bagaimana ideologi atas emosi mengatur siapa yang dapat merasakan apa, kapan,
dan bagaimana. Jaggar mengungkapkan hal ini dengan cukup jelas:
Ketika tanggapan emosional inkonvensional dialami oleh
individu-individu yang terisolasi, masalah itu
mungkin membingungkan, alias tidak dapat menamai pengalaman mereka; mereka
mungkin bahkan meragukan kewarasan mereka. Perempuan mungkin menjadi percaya
bahwa mereka “terganggu secara emosional” dan bahwa rasa malu atau takut yang
ditingkatkan di dalam diri mereka oleh sindiran seksual laki-laki adalah
tingkah laku yang dibuat-buat atau paranoia. Ketika emosi tertentu disebarkan
atau divalidasi oleh yang lain, namun, basisnya ada untuk membentuk sebuah
subkultur yang didefinisikan oleh persepsi, norma, dan nilai yang secara
sistematis berlawanan dengan persepsi, norma, dan nilai yang lebih unggul.
Dengan mendirikan basis untuk subkultur yang demikian, emosi tidak sah mungkin
dianggap subversif secara politis dan epistemologis. (1989, 160)
Buku ini mencoba untuk memetakan ideologi yang bersifat
gender dan rasial dari emosi yang direpesentasikan di dalam citra kecantikan
sehingga mengungkapkan bagaimana “kekuasaan beroperasi melalui emosi”
(Grossberg dikutip dalam Harding dan Pribram 2004, 872). Dengan cara memeriksa
penanda mana yang digunakan di dalam representasi untuk suatu tujuan afektif,
saya hendak menampilkan bagaimana perasaan berfungsi sebagai sebuah perangkat
kekuasaan yang melakukan kerja pemurnian berbagai macam hirarki sosial termasuk
hirarki ras, gender, dan warna kulit, di dalam sebuah konteks transnasional.
Dengan demikian, saya akan memperlihatkan bagaimana kekuasaan memasuki domain
emosi, atau yang Butler (1997a) sebut “psychic life of power,” dan
dengan demikian secara implisit menjelaskan cara di mana kita mungkin dapat
terbebas dari cengkeraman kekuasaan yang memasuki, menempati, dan beredar di
dunia emosi. Pendeknya, buku ini adalah sebuah eksplorasi dari apa yang
antropolog Catherine Lutz sebut “emosi sebagai sebuah praktik ideologi” (1988,
4).
Saya menekankan pentingnya merasakan/perasaan dalam tindakan
melihat. Yaitu “[me]lihat melalui sebuah perrwujudan, merasakan keterikatan.”
Tindakan melihat dengan demikian secara bersamaan adalah sebuah latihan dari
merasakan karena, seperti geografer Divya Tolia-Kelly tunjukkan, “kita tidak
bisa ‘melihat’ dan ‘merasakan’ secara terpisah; . . . estetik dalam
representasi ialah tentang emosi selama itu mengenai bentuk, tata bahasa visual
menembus dengan narasi mendalam dari nilai-nilai yang terkandung.” Yaitu, saya
membingkai perasaan tidak hanya sebagai sebuah “konteks untuk melihat”
(Tolia-Kelly 2007, 340). Justru, perasaan adalah sebuah cara melihat
dunia.
MENGAPA KECANTIKAN?
Di dalam buku ini, saya menempatkan kecantikan sebagai
sebuah subjek penting dari penyelidikan karena ia memungkinkanku untuk membuka
cara-cara simultan dan bersilangan di mana diskursus ras, gender, warna kulit,
transnasional, dan emosi/afektif bekerja bersama dalam menghasilkan dan
mengatur hirarki kekuasaan. Oleh karena itu, saya menggunakan ideologi
kecantikan sebagai sebuah kacamata kritis untuk menguji bagaimana putih, ketika
dilihat, diartikulasikan, dan dibingkai di dalam gagasan kecantikan perempuan,
mengambil makna gendernya. Tentu saja, dalam studi perempuan, gagasan tentang
ideologi kecantikan sebagai sebuah alat diskrriminasi di antara perempuan telah
secara luas diterima. Beberapa pemikir feminis mengistilahkan diskriminasi
terhadap perempuan “jelek” dengan “look-ism” (rupa-isme) untuk
memperlihatkan bagaimana “harapan kecantikan adalah sesuatu yang sistemik”
(Chancer 1998, 83). Sebagian pemikir lain bahkan menganggap kecantikan atau
rupa-isme lebih berbahaya daripada rasisme dan seksisme-struktur institusional
yang lebih luas di mana ia bergantung-karena kita sadar diskriminasi berdasar
pada ras dan kelamin, tapi kita kurang menyadari atau “tidak sadar” tentang
diskriminasi berbasis rupa (Etcoff 1999, 25). Ideologi kecantikan memang telah
digunakan untuk mempertahankan perempuan modern di dalam kedudukan
subordinatnya (Wolf 1992). Ini karena ritual kecantikan yang tidak pernah
habis, dalam istilah Foucauldian, “pendisiplinan” tubuh perempuan secara
berbeda dari tubuh laki-laki dan bahkan menganggap mereka sebagai “tubuh-tubuh
yang jinak” (Bartky 1990, 69-75).
Para pemikir berpendapat bahwa kecantikan menjadi sebuah
alat diskriminasi karena bentuk kapitalnya. Sosiolog Lynn Chancer, di dalam
karya bersama Pierre Bordeu mengenai “kapital budaya”, menyatakan bahwa kecantikan
dapat “dikerjakan di dan dikerjakan untuk: rupa tidak sekedar
memiliki asal namun lebih dan lebih dihasilkan secara teratur” (1998, 118). Dengan
demikian perempuan diinvestasikan di dalam bekerja pada dan untuk kecantikan
karena, sebagai sebuah bentuk capital, kecantikan “dapat ditransformasikan ke
dalam tipe lain capital, seperti capital ekonomi atau uang. Semakin banyak
kecantikan yang dimiliki seorang perempuan akan membantunya mendapatkan
pekerjaan dengan upah yang baik atau menikah dengan seorang berstatus tinggi,
lelaki kaya” (M. Hunter 2005, 5).
Meningkatnya penggunaan krim pencerah kulit populer adalah
minat tersendiri bagiku, khususnya di Indonesia. Secara historis, ini harus
dicatat, produk pemutih kulit tidak terbatas untuk orang-orang Afrika atau
Asia; mereka juga tidak penemuan terbaru kapitalisme dan industry kosmetik
global. Dari penelitian seorang pakar ras Richard Dyer, kita belajar bahwa
perempuan Yunani kuno telah mulai memutihkan kulit mereka (1997, 48). Perempuan
selama kekaisaran Romawi menggunakan ceruse dan timah putih untuk memutihkan
kulit mereka. Di masa kerajaan Ratu Elizabeth Inggris (abad enambelas hingga
awal abad tujuhbelas), ceruse digunakan juga untuk tujuan yang sama (Sherrow
2001, 241). Beberapa bahan lain yang digunakan yaitu mercury, jus lemon, putih
telur, susu, dan cuka (Etcoff 1999, 101). Tentu saja karena bahan seperti timah
dan mercury itu berracun, beberapa perempuan meninggal karena menggunakannya
(Sherrow 2001, 86).
Dalam konteks Amerika Utara, perempuan juga mempraktikkan
rutinitas memutihkan. Sejarawan Kathy Peiss mencatat bahwa selama awal abad
Sembilan belas, perempuan putih membagi resep untuk pemutih kulit dan sampai
abad dua puluh menjadi target pasar untuk krim mencoklatkan. Pada pertengahan
abad Sembilan belas, tekanan mulai memperhatikan penggunaan pemutih kulit untuk
orang Amerika Afrika (Peiss 1998, 9, 41, 149). Sampai awal abad dua puluh,
Amerika Afrika lanjut menjadi sasaran untuk produk pemutihan dengan bahaya
bahan kimia, termasuk mercury, yang mana telah dilarang di Amerika Serikat pada
1974 (Sherrow 2001, 242).
Di Asia dan Afrika, praktik memutihkan juga telah dikenal
dalam sejarah. Ratu Mesir Cleopatra mandi dengan susu untuk memutihkan kulitnya
(Dyer 1997, 48; Sherrow 2001, 35). Pada abad Sembilan hingga dua belas, periode
Heian Jepang, perempuan menggunakan tepung beras (oshiroi) dan timah putih
untuk memutihkan kulit mereka (Etchoff 1999, 101). Pada abad ke tiga belas
Cina. Perempuan kaya menggunakan “perhiasan Buddha”-pasta kental yang dioleskan
ke wajah mereka selama musim dingin dan dihilangkan pada musim semi (Sherrow
2001, 76). Pada zaman modern Zimbabwe, pemutih kulit digunakan hingga dilarang
pada tahun 1980 (Burke 1996, 120).
Contoh-contoh mempraktikkan pemutihan yang telah ada di berbagai
lokasi dan periode sejarah memberikan konteks untuk memikirkan kembali masalah
kecantikan dan warna kulit dalam konteks transnasional. bahwa perempuan di
berbagai bangsa, termasuk Indonesia dan Amerika Serikat, telah mengakui
ketertarikan pada kulit cerah sehingga mereka dapat terlihat “cantik”; dan
fakta bahwa produk pemutih kulit populer di banyak Negara, seperti Zimbabwe,
Nigeria, Pantai Gading, Gambia, Tanzania, Senegal, Mali, Togo, Ghana, Vietnam,
Malawi, Philipina, Singapura, Malaysia, Jepang, China, Arab Saudi (dan
seterusnya), menunjukkan bukti luar biasa bahwa diskursus kecantikan yang
mengagungkan perempuan berkulit cerah beredar secara transnasional. Memang,
berpikir transnasional tidak hanya penting namun juga tidak terhindarkan.
Materi yang dikumpulkan di dalam buku ini berasal dari tiga Negara: Amerika
Serikat, dari perpustakaan Kongres Washington, D.C.; Indonesia, dari Arsip
Nasional Republik Indonesia, dan Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta;
dan Belanda, dari perpustakaan KITLV di Leiden dan perpustakaan KIT di
Amsterdam.
Dalam mengajukan dan menggunakan cara berbeda dalam melihat
kecantikan-yang bergantung, dapat dilihat, dan dibantu oleh perasaan-buku ini
menghasilkan pengetahuan, sejarah, dan pemahaman yang berbeda tentang diskursus
kecantikan, ras, gender, dan warna kulit, khususnya di Indonesia. Yaitu saya
potret ulang kompleksitas perasaan dan mengatur perasaan ini di dalam konteks
transnasional.
MENGAPA INDONESIA?
Apakah meluasnya penggunaan produk kosmetik pemutih kulit
menunjukkan sebuah pengalaman universal atas ras, dan/atau ras yang bersifat
gender? Para ilmuwan yang telah mempertanyakan ini, cenderung menyatakan bahwa hal
itu menunjukkan berbagai sejarah setempat di mana ras dikonstruksikan.
Sebagaimana ilmuwan Perry Hintzen dan Jean Rahier tulis, walaupun di AS
subjektivitas sangat bersifat rasial, “mungkin, di wilayah negara lain, ras
dibanjiri oleh cara-cara lain untuk memahami, diskursus lain untuk menjadi,
subjektivitas-subjektivitas lainnya.” (2003, 15). Hal ini meandakan bahwa para
ilmuwan yang tertarik dalam studi ras, formasi ras, dan rasialisasi dan menaruh
perhatian pada model Amerika mungkin tidak sepenuhnya mengkonseptualisasikan
ras di tempat lain dan di dalam konteks transnasional. Berfokus pada Indonesia
yang memiliki sejarah yang sangat berbeda dari yang ada di Amerika Serikat
memungkinkanku memperluas pemahaman kita dan menawarkan gagasan berbeda tentang
bagaimana ras, gender, dan warna (kulit .red) dikonstruksikan. Apalagi,
Indonesia nampaknya dapat menjadi contoh sempurna untuk membuktikan kesangsian
ini: kekhususan sejarah ras Indonesia, ke(tidak)sadaran ras dan riasan yang
bersifat ras, dan fakta bahwa kebanyakan orang Indonesia sekarang tidak
berpikir melalu lensa ras, sering digunakan untuk menghentikan upaya untuk
mendiskusikan masalah ras dan warna (kulit.red) di sana. Walaupun buku ini
mengangkat isu berdasarkan pendirian itu dengan menegaskan pentingnya warna
kulit yang bersifat ras di Indonesia, buku ini menampilkan beragam cara di mana
konstruksi warna kulit ras di Indonesia berbeda dari konstruksi warna kulit
“lebih cerah lebih baik” yang sangat lazim dalam konteks AS. Misalnya, di
bagian lima, saya mendiskusikan penerimaan Indonesia atas warna kulit putih
orang Jepang tetapi menghina warna kulit putih “orang Cina”. Terlebih, kategori
identitas lain seperti gender, juga penting dalam pemahaman kita mengenai makna
warna kulit. Sehingga, sementara perempuan diharapkan menjaga warna kulit
mereka dan dianggap cantik ketika kulit mereka cerah, lelaki tidak demikian. Di
Indonesia, warna kulit cerah diasosiasikan dengan feminitas. Namun demikian,
akan menjadi kesalahan jika memandang Indonesia sebagai masyarakat tertutup
dengan hanya penjelasan local dan nasional untuk perilaku gender dan rasnya.
Mengemas isu kecantikan dalam konteks transnasional memungkinkanku untuk
mengidentifikasi kekhususan ras di Indonesia dengan kekhususan secara
transnasional.
Indonesia, berada di Asia tenggara dengan Negara tetangga
seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Timor Timur, Nugini, Australia, adalah
sebuah penemuan modern dan poskolonial. Ia didirikan sebagai sebuah
Negara-bangsa setelah kemerdekaannya pada 1945. Sebelumnya, Indonesia dijajah
oleh Belanda yang memerintah berbagai macam kerajaan, menyebar ke seluruh
kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau (6000 di antaranya berpenghuni). Dengan
demikian, bataas-batas geografis Indonesia hari ini kebanyakan adalah warisan
dari kolonialisme Belanda. Kolonialisme Belanda juga turut menjelaskan,
sebagaimana pakar Asia Tenggara Benedict Anderson tunjukkan, mengapa orang
Indonesia dari etnis Sumatera akan menganggap orang Melayu Malaysia, dengan
siapa mereka berbagi bahasa, agama, dan etnis, “orang asing”, namun menganggap
orang Ambon di Indonesia Timur, dengan siapa mereka tidak memiliki kesamaan,
sebagai sesama orang Indonesia, termasuk dalam “komunitas yang dibayangkan.”
Ini sangat sederhana karena mereka dijajah oleh penjajah yang sama (Anderson
1983/2006, 120-121). Bahkan desakan Indonesia dalam “mengintegrasikan” Irian
atau Papua Barat ke Indonesia disebabkan pada fakta bahwa Irian dulunya
merupakan jajahan Belanda dan karena itu menjadi bagian dari imajiner
Indonesia. Di sisi lain, Timor Timur, sebuah pulau yang dijajah oleh Portugis
tapi kemudian “diokupasi” oleh Indonesia pada 1975, sekarang adalah Negara
merdeka.
Bahkan kata itu sendiri, Indonesia, adalah penemuan orang
Eropa. Yaitu pada 1850, di Jurnal Kepulauan Iindia dan Asia Timur,
co-editornya, James Richardson Logan, menciptakan nama “Indonesia”, memilih
satu dari dua nama – “Indunesia” (kepulauan India) dan “Melayunesia” (kepulauan
Melayu) – yang co-editornya, George Samuel Windsor Earl, pernah ajukan di dalam
artikel terdahulu di jurnal yang sama (Anshory, 2004). Logan memilih Indunesia
namun mengubah huruf u dengan o agar kedengaran lebih baik.
Kemudian, karena konsistensinya menggunakan kata Indonesia di dalam
publikasinya, kata ini menjadi semakin populer. Pada 1884, Djerman Bastian
menggunakan “Indonesia” sebagai sebuah judul buku yang dia tulis tentang
kepulauan (Stoddard 1966, 278). Dan pada tahun 1913, ketika salah satu pahlawan
nasionalis Indonesia abad 20 dan pendiri Kantor Berita Indonesische, Ki
Hajar Dewantara, mulai menggunakan kata “Indonesia” dalam korannya untuk
menunjukkan lokasi geografis, ini adalah bukti bahwa nama tersebut telah digunakan
(Anshory 2004).
Bahasa nasional Indonesia adalah Bahasa Indonesia.[3] Ia sudah
dikenal sebagai bahasa nasional sejak 1928; namun, pada tahun 1942 dengan awal
okupasi orang Jepang yang Indonesia dapatkan “status de facto bahasa resmi”;
dan pada 1945, ketika kemerdekaan Negara, Bahasa Indonesia secara resmi menjadi
bahasa nasional (Sneddon 2003, 9). Bahasa Indonesia adalah bahasa yang
diderivasikan dari Melayu “tinggi” atau “formal”.[4] Bentuk
“rendah” dari Bahasa Melayu[5] sebagai
bahasa lisan, termasuk dialek yang paling banyak diucapkan, Bahasa Jawa, dan
Cina (Sneddon 2003, 5). Tentunya, sirkulasi orang dan barang dari berbagai
tempat mempengaruhi kekayaan dan pertukaran bahasa yang digunakan di Indonesia.
Contohnya, bahasa Kuno Jawa, atau Kawi (ditulis sebelum abad 15), adalah
bahasa yang dominan di antara literature Bahasa Jawa dan orang-orang dari
istana kerajaan sebelum kolonisasi Eropa (Phalgunadi 1995, 5). Belanda[6] dan
Portugis lalu membawa bahasa mereka ke kepulauan ini pada abad 16 yang menambah
variasi bahasa yang telah digunakan.
Indonesia adalah Negara besar baik dalam ukuran (melewati
tiga zona waktu)[7]
dan populasinya (Negara berpenduduk muslim terbesar dan Negara ke empat
berpenduduk besar di dunia dengan estimasi 238 juta orang pada 2010). Beberapa
ahli teori berargumen bahwa penduduk “asli” Indonesia, kira-kira sekitar
30.000-40.000 tahun yang lalu, adalah orang-orang berkulit gelap (Vlekke 1960,
8; Mirpuri 1990, 19), dan migrasi orang-orang dari berbagai tempat ke kepulauan
ini telah berkontribusi pada percampuran orang Indonesia hari ini (Mirpuri
1990, 54). Namun, Sejarawan Jean Gelman Taylor mengungkapkan bahwa
perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia hari ini tidak dihasilkan dari
migrasi oleh orang-orang dari ras yang berbeda-beda, akan tetapi lebih karena
mereka merefleksikan cara-cara berbeda diana orang-orang beradaptasi untuk
perubahan-perubahan yang dibawa oleh sirkulasi barang dan manusia secara
transnasional; dia berpendapat bahwa para pendahulu dari kebanyakan orang
Indonesia hari ini datang dari Cina Selatan (J. Taylor 2003, 5-7).
Meskipun begitu, Indonesia memiliki sejarah panjang
sirkulasi transnasional orang-orang yang berlanjut hingga sekarang. Pertemuan
dengan orang India, Cina, dan Arab selama periode pra-kolonial; pengalaman
penjajahan Belanda yang berbeda secara signifikan dari gaya penjajahan Inggris
dan Perancis; dan pengalaman penjajahan Jepang dan pertemuan dengan budaya
Amerika pada periode kontemporer membuat Indonesia unik dan menjadi situs
analisis penting. Berdasarkan data 2004, pekerja asing (belum tentu Kaukasian)
di Indonesia berjumlah sekitar 20.000 (6.000 eksekutif, 11.600 profesional,
1.200 supervisor, 500 teknisi, dan sisanya, “lain-lain”).[8] Lebih
dari setengah dari mereka hidup di Jakarta.
Eksaminasi tentang konstruksi ras, gender, dan warna kulit
di Indonesia berdiri pada pundak sarjana terkemuka pada ras dan gender di
Indonesia (Stoler 2002; Gouda 1995; Hellwig 1994; Locher-Scholten 1986, 1992,
2000). Namun, studi mereka pada ras dan gender di Indonesia cenderung fokus
pada periode kolonial dan poskolonial. Di sisi lain, saya memperluas fokus
dengan mengkaji sejarah transnasional formasi warna kulit, ras, dan gender di
Indonesia pada periode prakolonial dan kemudian melacak formasi tersebut hingga
hari ini.
[1]
Kegelisahan karena menjadi “sorotan”, karena hal itu mungkin mengarah pada
pengamatan, mengandung emosi yang mirip dengan orang Indonesia periode
penjajahan ketika Belanda melarang orang asing untuk melihat penjajah terutama
ketika penjajah sedang mengawasi terjajah. Pada waktu itu, sebuah teleskop
menjadi alat optic canggih yang dapat memungkinkan seseorang untuk “masuk
sembunyi dan melihat” (Mrazek 1999, 39).
[2]
Di dunia postmodern yang “figural dan sensorik”, indera dikonstruksi sebagai “sensasi
dan makna”, “sebuah perantara dan pesan” (Rodaway 1994, 7, 25-26)
[3]
Indonesia digembor-gemborkan sebagai satu dari “bahasa-bahasa paling sederhana
di dunia,” tidak punya “tenses, gender, nada, atau artikel yang ditata
bahasakan, dan beberapa bentuk jamaknya dibuat dari pengulangan kata yang
sederhana” (Mirpuri 1990, 86).
[4]
Melayu adalah bahasa yang pertama kali beredar melalui rute perdagangan; ia
masih dipakai di Malaysia, sekalipun dalam bentuk yang berbeda (dikarenakan
sejarah penjajahan yang berbeda di kedua Negara ini), memberi bukti atas
peredaran transnasionalnya (Sneddon 2003, 7-9, 11). Apalagi, kehadiran Arab di
kepulauan ini juga menanamkan pengaruhnya di bahasa Melayu. Terdapat kira 15
persen Bahasa Arab dalam kosakata Bahasa Melayu (J. Taylor 2003, 105-106)
[5]
Ini adalah bahasa yang umum digunakan di abad 15-16 zaman kerajaan Sriwijaya (Sumatera)
(Rafferty 1984, 247)
[6]
Pada 1920-1930-an, adalah dialek Belanda, Melayu, dan lokal yang menjadi bahasa
debat (Sutherland 1979, 107)
[7]
Indonesia memiliki tiga zona waktu: Indonesia Bagian Barat, Indonesia Bagian
Tengah, dan Indonesia Bagian Timur. Oleh karenanya, “Indonesia Bagian Barat”
merujuk pada pulau-pulau yang berada di dalam zona pertama seperti Jawa dan
Sumatera.
[8] Kebanyakan dari para pekerja ini datang dari Jepang (3500), Korea Selatan (1900), Amerika Serikat, Australia, Inggris, India, Kanada, Malaysia, dan Cina (sekitar 1500 masing-masing Negara). (http://www.nakertrans.go.id/pusdatinnaker/tka/TKA_WNegara%202004.htmhttp://www.nakertrans.go.id/pusdatinnaker/tka/TKA_Jab2004.htm dan http://www.nakertrans.go.id/pusdatinnaker/tka/TKA_Jab%202004.htm). Angka ini tidak termasuk keluarga yang menemani para pekerja, turis, pelajar, pengangguran, dan para pekerja dan orang asing yang tidak terdokumentasikan di Indonesia.
0 Comments