Suatu hari ada seorang kawan membeli barang dari aplikasi toko online. Ia menceritakan kalau harga yang ia dapatkan kini jauh lebih murah dibandingkan dengan dulu sewaktu belum mengenal toko online. Asumsiku, karena dengan adanya toko online sekarang konsumen bisa lebih dekat dengan produsen. Artinya dengan membeli barang langsung dari produsen berarti memangkas biaya lain yang dibutuhkan untuk penambahan alur distribusi. Meski sebetulnya tengkulak itu berganti rupa: pemilik aplikasi toko online. Namun, bagi konsumen, memperoleh barang yang sama dengan harga yang miring tentu adalah suatu keuntungan.

Di sisi lain akupun mengamini bahwa adanya toko online juga membawa dampak semakin banyaknya orang yang berperan sebagai penjual barang orang lain, atau bisa kita sebut reseller. Para reseller ini macam-macam, ada yang memasarkan produknya melalui aplikasi toko online, ada juga via media sosial seperti facebook, instagram, dan twitter. Kamu pastinya tidak asing lagi dengan mereka. Atau jangan-jangan kamu salah satunya?

Saya sendiri pernah menjadi reseller untuk menjual alpukat, snack makaroni, dan madu. Percobaan pertama menjual alpukat via bukalapak tidak berhasil, entah karena kurang ahli dalam mengelola aplikasi, atau karena kesibukan lain. Kemudian aku beralih ke penjualan snack makaroni. Jajanan tersebut adalah buatan teman sendiri yang mempunyai koperasi. Penjualan aku lakukan lewat media sosial dan juga secara langsung ke teman-teman dekat. Dan ya hasilnya pun tidak seberapa. Lagi-lagi aku meninggalkan usaha reseller makaroni. Barulah berbulan-bulan kemudian aku kembali menjadi reseller dengan menjualkan hasil panen madu milik seorang kakak senior.

Usaha menjual madu kali ini aku harap dapat memberikan hasil, yang meskipun tidak banyak namun dapat kurasakan. Kalau menjual makaroni sebelumnya hanya mendapat 1.500 per bungkusnya, untuk madu aku mendapat 5.000 per-botol untuk promo 5 penjualan pertama. Dan di penjualan selanjutnya aku menerima 10.000 untuk satu botol yang berhasil terjual.

Akupun memasarkan madu tersebut via aplikasi Shopee dan media sosial. Di Shopee aku upload barang daganganku dua kali, dan hampir setiap hari mengeceknya lalu menaikkan periklanannya. Hasilnya, pembeli hanya datang dari teman-teman yang menyimpan nomor Whatsappku. Shopee? Entah kenapa mustahil untukku mendapat pelanggan dari sana. Jika dihitung ketika itu aku hanya mampu menjual kira-kira 20 botol dalam dua bulan. Itu berarti keuntunganku hanyalah 175.000. Itu belum termasuk pembagian ke salah seorang temanku yang juga ikut menjual maduku. Kini aku tak lagi menjual madu karena produksinya pun berhenti.

Dari sederet pengalaman tersebut aku menarik kesimpulan bahwa tidak mungkin aku mengandalkan penghasilan dari kerja sebagai reseller. Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak lagi menjadi reseller. Kalaupun suatu hari aku berminat untuk menjual barang orang lagi, maka itu hanya akan menjadi kerja sampingan.

Artikel yang membahas kerentanan pekerja online di situs ini adalah alasan mengapa tiba-tiba aku menulis soal pengalamanku mengais receh di pasar online. Aku sedang merefleksikan kerja-kerja yang kuceritakan itu sebagai sebuah kerja, bukan sekedar mengisi waktu senggang (karena tidak mungkin aku bilang untuk menambah pemasukan keluarga). Aku tidak tahu berapa lama tepatnya aku mencurahkan waktuku untuk menjual barang-barang itu. Tidak sekalipun aku menghitungnya. Jadi aku pun tidak tahu apakah sangat panjang, atau malah tidak lebih dari satu jam perhari.

Soal standar upah juga menurutku menjadi alasan mengapa aku selama ini tidak berpikir bahwa berjualan secara online adalah sebuah kerja. Bayangkan 175.000 dalam dua bulan, siapa yang mau mengakui kalau itu adalah upah yang layak? Tentu saja tidak. Apalagi memikirkan soal perlindungan dan jaminan kerja, sama sekali tidak terlintas.

Pemikiran semacam itulah yang barangkali tidak hanya dirasakan olehku, namun juga siapapun yang bernasib sama. Mungkin saja yang hidupnya bisa ditopang dari hasil reseller mengakui bahwa yang dilakukannya adalah sebuah pekerjaan, namun ia tetap sama prekariatnya dengan nasibku jika kerja yang dilakukannya ternyata merupakan eksploitasi yang dilakukan dalam durasi waktu yang panjang, dan tidak ada jaminan perlindungan pekerja.

Namun, bukankah definisi kerja tidak ditentukan dari berapa hasil yang kamu dapatkan? Dari sini aku mulai memahami, bahwa seharusnya pekerjaan reseller yang setiap hari memosting jualan, promosi sana-sini seharusnya mendapat upah terlepas dari apakah barang yang ia promosikan laku terjual atau tidak. Mereka serupa para artis yang mengiklankan suatu produk, yang mendapat upah meskipun ia tidak melakukan penjualan barang tersebut.

Kerja-kerja reseller yang tidak berupah itu tentu sangat menguntungkan si produsen atau pemilik modal. Katakanlah uang yang seharusnya dipakai untuk membiayai periklanan menjadi masuk ke kantong pribadi karena orang lain dengan sukarela mengiklankan barang produksinya. Bahkan hanya dengan memberi bonus 200ribu misalnya, si reseller sudah merasa sangat diuntungkan, padahal itu bisa jadi hanya siasat agar ia semakin giat berjualan sampai tidak membiarkan sedetikpun waktu luang disia-siakannya untuk hal lain.

Dengan membaca fenomena tersebut, tentu aku sepakat jika membentuk serikat dan memperjuangkan hak sebagai seorang pekerja sangat penting untuk dilakukan. Pertanyaannya, bagaimana memulainya? Bagaimana cara mengonsolidasikan para pekerja di pasar online ini? Lalu seandainya pekerja online mengajukan upaya perlindungan melalui undang-undang, regulasi seperti apa yang diperlukan untuk menjamin pekerjaan di pasar online ini sehingga mendapat perlindungan dan standar upah yang layak?

 

0 Comments