Suatu kali aku berbincang dengan seorang teman perempuanku via pesan chat mengenai masalah kehidupan masing-masing. Di situ aku bilang, “orang memang cenderung merasa hidupnyalah yang paling menderita.” Aku pikir mereka yang menganggap hidupnya paling menderita barangkali belum pernah mendengar atau membaca kisah orang lain yang lebih kasihan darinya. Dan jika seseorang mendengar atau membaca kisah yang lebih kasihan, dia mungkin akan bersyukur atas hidupnya. Tetapi mengapa kita perlu membandingkan hidup yang kita jalani dengan apa yang dialami orang lain? Dan mengapa kita justru bersyukur ketika masih ada orang lain yang lebih menderita?

Sejujurnya tidak ada yang berhak menjadi hakim atas pengalaman hidup seseorang. Masing-masing dari kita memang bisa menilai apakah nasib seseorang lebih buruk atau lebih baik dari diri kita. Naluri seperti itu bisa saja muncul saat kita menyadari betapa kesialan yang kita alami masih lebih baik dibanding dengan yang menimpa orang lain, atau pun sebaliknya. Tetapi hal itu tidak lantas bisa kita ungkapkan secara langsung kepada orang lain. Ketika ada yang curhat tentang dirinya yang ditinggalkan sang kekasih misalnya, dan kita merasa nasibnya lebih baik dari kita, maka kita jangan menanggapinya dengan: “kamu masih mending, lah aku bla bla bla.” Respon seperti ini cenderung meremehkan penderitaan yang bagi orang lain itu justru berat.

Kita juga tak sepatutnya bersyukur ketika ada orang lain mendapat masalah yang lebih besar dari kita. Rasa syukur kita justru menunjukkan bahwa kita masih menjadi orang yang selfish alias memikirkan diri sendiri. Mendengar dan memahami penderitaan orang lain mestinya membuat kita ikut merasakan penderitaan yang dialaminya alias berempati.

Ini bukan berarti kita tidak boleh bersyukur ya, bukan. Bersyukur tentu hal yang baik bahkan wajib karena itu menunjukkan bahwa kita ikhlas dan berterimakasih atas apa yang kita punya. Bersyukur yang aku maksud di atas yaitu ketika konteksnya kita sedang mendengar nasib orang lain lalu membandingkannya dengan hidup kita, kemudian menanggapinya dengan ucapan syukur. Misalnya kita membaca sebuah status yang menceritakan pengalaman menjadi anak broken home, lalu kita berkomentar: “alhamdulillah keluargaku tidak seperti ini.” Betapa jahatnya kita.

Hal-hal tersebut penting supaya tidak membuat kita mudah meremehkan nasib seseorang apalagi menyalahkan sikap seseorang atas pilihan hidupnya. Sebaliknya, aku ingin kita memiliki rasa empati untuk turut merasakan penderitaan yang diemban orang lain. Dan di sinilah aku hendak bercerita tentang seseorang yang kutemui pertama kali empat tahun yang lalu, sebut saja O. Dia seorang perempuan yang mengalami kepahitan hidup yang tidak mungkin dapat kutanggung seandainya apa yang ia alami menimpaku juga.

Pertemuan pertama kami dijembatani oleh seorang kawan penyair yang mengundangnya dari Jakarta ke Semarang. Ketika itu aku yang masih menjabat sebagai ketua di sebuah organisasi kampus langsung menyetujui untuk mengundang O ke sebuah acara yang sengaja kami buat untuknya. Acara itu bertema tentang tubuh dan kekerasan 1965.

Aku yang masih culun waktu itu agak terkejut dengan penampilannya. Dia yang datang memakai celana selutut dan botak sekilas nampak seperti laki-laki, ditambah sebatang rokok di salah satu sela jarinya. Barulah setelah kami diperkenalkan aku tahu, dia seorang perempuan. Senyumnya yang ramah membuat aku dan teman-teman cepat akrab dengannya.

Pasca acara diskusi itu kami sering berbagi kabar melalui pesan daring. Ia yang suka membuat puisi kerap mengirimiku hasil karyanya. Aku yang suka menulis opini dan sesekali juga puisi tentu kubagi pula padanya. Ketertarikannya tidak hanya pada seni dan sastra, tetapi juga pada perjuangan membela petani, khususnya petani Desa Surokonto Kendal yang waktu itu memiliki konflik dengan PT. Perhutani. Sekali dua kali ia ke sana untuk mengenalkan kepada warga dan anak-anak Surokonto Wetan tentang seni lukis dan puisi. Namun, setelah ia kembali ke Jakarta ia tak pernah bisa lagi mengunjungi para petani itu karena sakit paru-paru yang dideritanya.

Bulan ketiga 2017, tiga orang mahasiswa Semarang tanpa modal besar nekat pergi ke Jakarta. ketika itu aku bersama dua teman cowok se-organisasi berniat silaturahim dan mengunjungi senior organisasi dan lembaga Sajogyo Institute untuk menambah jaringan. Kebetulan juga ada aksi ibu-ibu Kendeng yang ingin mengecor kakinya dengan semen di depan istana. Selama lima hari di Jakarta itu, salah satu tujuannya juga mengunjungi teman perempuanku itu di daerah LA (Lenteng Agung).

Aku dan kedua temanku disambut baik oleh dia dan keluarga kecilnya. Seorang ‘suami’ dan dua anak, laki-laki dan perempuan. Anak lelakinya baru lulus SD, sementara yang perempuan masih kira-kira umur tiga tahun. Kami menginap semalam di sana. Tuan rumah menyuguhi kami makan malam dan juga sarapan pada paginya. Malam itu pun kami ngobrol dari pengalaman hidupnya hingga masalah gerakan dan filsafat.

O sebenarnya lahir dari keluarga mapan dan terpandang. Ayahnya memiliki jabatan penting di pemerintahan. Dari perpustakaan yang dimiliki ayahnya lah ia belajar. Pasca SD O tidak mau melanjutkan sekolah. Ia lebih baik belajar kesenian dan membaca buku-buku ayahnya di rumah. Meski banyak hal yang membuat O tak menyukai ayahnya, namun dari ayahnyalah ia dapat belajar banyak hal termasuk Bahasa Inggris. Sampai suatu ketika ia memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarganya karena ketidaksepakatan pada tradisi yang mengekang dan kebijakan pemerintah yang dibuat oleh ayahnya.

Suatu hari ia memberiku kabar menyedihkan. Seseorang yang kusebut ‘suami’ tadi pergi meninggalkannya dengan membawa anak perempuannya ke Bogor, ke tempat kekasihnya yang lain. Tinggallah ia dan anak lelakinya. Tak sampai di situ, kemudian O juga mengalami pelecehan seksual oleh salah seorang kawan gerakannya. Dia tidak ingin membawanya ke ranah hukum karena itu akan berimplikasi buruk pada gerakan perlawanan yang selama ini ia dan kawan-kawannya perjuangkan. Meskipun ternyata bukan hanya dia yang menjadi korban, O ingin masalah itu cukup diselesaikan secara internal.

Sayangnya, pilihannya itu justru mendapat pertentangan dari sesama kawan aktivis lainnya. Menurut mereka apa yang dilakukan oleh pelaku harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Akibatnya, diapun dijauhi bahkan dimusuhi. Terkadang O mengirimiku balasan pesan dari orang-orang yang tidak menyukai pilihannya. Padahal menurutku, itu pilihan dia –sebagai korban- yang seharusnya kita hormati, bukan?

Sebagai kawan jauh, aku hanya dapat memberi penguatan via pesan supaya dia bisa menghadapi segala musibah yang menimpanya. Ketika suatu hari aku dapat kesempatan ke Jakarta kukontak O. Ternyata ia sudah pindah kontrakan. Lokasinya waktu itu tidak jauh dari kontrakan sebelumnya. Di sana O tinggal bersama anak laki-lakinya. Dia nampak kurus karena kurang makan dan sakit paru-paru yang masih dideritanya. Meski begitu, O tetap memberi dampingan kepada anak-anak di sekitarnya, terutama teman-teman anaknya untuk belajar melukis.

Ketika kemudian ia mampu melanjutkan hidupnya dengan baik, aku pun turut senang. Ia bahkan sempat diundang ke India untuk menampilkan seni pertunjukan (performance art) yang memang menjadi dunianya. Sebuah Performance art yang sampai sekarang masih sulit mendapat tempat di Indonesia sebab terkadang dia menampilkan diri telanjang dada.

Setelah kurang lebih dua tahun, aku bilang padanya bahwa aku akan ke Jakarta. O senang mendengarnya dan berharap dapat segera bertemu lagi denganku. Aku pun menyempatkan diri menemuinya di sebuah kedai kopi milik temannya. Keadaannya saat itu ternyata tidak lebih baik dari sebelumnya. Belakangan O menderita penyakit ambeien. Dia juga punya hubungan dengan seseorang, sebut saja kekasih, namun cenderung toxic. Anaknya sekarang ikut keluarga kakeknya agar dapat hidup layak, sementara dia hidup nomaden, di mana saja dapat menampung dia. Jika akhirnya terpaksa, dia pun kembali ke rumah kekasihnya yang temperamental itu.

Saat itu dia juga bercerita kalau dirinya sempat difitnah mengajari anak-anak untuk bermain kekerasan. Mungkin karena penampilannya yang agak aneh, ditambah ada tato di kepalanya, dia dicurigai sebagai seorang penjahat. Sialnya memang ditemukan benda tajam semacam parang di rumahnya, yang ternyata simpanan milik teman anaknya yang ikut kelompok Jakmania. Diaraklah dia oleh orang-orang sekampung dan diusir.

Belakangan, O sedang menulis artikel atau jurnal untuk menyambung hidup. Ia juga tengah menjalani terapi kejiwaan yang diberikan oleh psikolog di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Nama terapi itu brainspotting. Dari situ O tahu bahwa ia sedang mengidap attachment feeling disorder, borderline personality behavior, anxiety, sadness, dan suicide feeling. Anaknya tidak lagi tinggal di rumah tantenya sebab diusir. Ia bahkan diberi ultimatum oleh kakeknya, bahwa jika ia masih ingin mendapat pendidikan yang baik ia disuruh meninggalkan O dan tidak lagi menganggapnya sebagai ibu. Anaknya pun lebih memilih kembali kepada O.

O juga sudah tidak lagi berhubungan dengan mantan kekasihnya yang toxic itu. Dan ternyata bukan hanya kekerasan fisik dan verbal yang dialami O, orang itu juga melakukan penipuan dan pengedar narkotika. O pun tak segan-segan melaporkannya ke pihak kepolisian manakala ia memegang bukti cctv dan digital. Sayangnya, orang itu tidak diganjar penjara sebab keluarganya mampu menebusnya.

Penderitaan yang dialami O memang tak seberapa jika dibandingkan dengan kisah Candide dan orang-orang di dalam hidupnya (Voltaire, 1759). Apa yang aku ceritakan mungkin juga tidak cukup lengkap untuk dapat menilai hidupnya. Katakanlah ini hanya sebuah catatan kecil untuk mengingat bahwa aku punya seorang teman yang begitu kuat menjalani kehidupan semacam itu. Barangkali aku juga berlebihan dalam memahami kisah hidupnya. Bahkan terkadang aku pikir dia telah memilih jalan hidup yang salah sehingga ia ditolak oleh masyarakat dan keluarganya. Akan tetapi, aku pun sadar aku hanya orang luar yang tidak berhak menghakimi pilihan hidup seseorang. Aku hanya bisa membantu sesuai batas kemampuanku, sembari berharap yang terbaik baginya.

 

0 Comments