Kepada Ibu Eisti dan Bapak Ali, 
Pertama, saya ucapkan salam sehat buat Anda berdua. Kedua, selamat atas terpilihnya Anda sebagai bupati dan wakil bupati Demak yang baru. Jujur saja sebenarnya saya tidak begitu peduli pada siapa dari dua paslon yang nantinya akan terpilih, sebab sejak awal pun saya tak melihat ada trobosan penting dari pencalonan Anda dan lawan Anda untuk perbaikan Kabupaten Demak ini. Namun, karena saya masih ingin Demak menjadi lebih baik, maka izinkan saya sebagai warga Kota Demak menyampaikan sesuatu untuk Anda dan pasangan. 

Saya tidak tahu apa sebenarnya yang memotivasi Anda, Ibu Eisti, sebagai seorang dokter lalu tiba-tiba mencalonkan diri sebagai bupati. Ambisi apakah yang membawa Anda sampai pada posisi sekarang? Saya tidak ingin menggugat apa yang menjadi dorongan kuat bagi Anda untuk maju mencalonkan diri jadi Bupati, sebab itu adalah masalah personal. Akan tetapi, masalah personal Anda itulah yang saat ini dan seterusnya nanti menentukan akan dibawa kemana nasib Kota Demak? Saya kira, saat ini Anda masih ada kesempatan untuk memperbaiki niat untuk lima tahun kedepan. 

Ibu Eisti, maafkan saya yang hanya tahu bahwa Anda adalah putri seorang pengusaha konglomerat di Demak bernama Halim. Informasi ini lantas membuat saya terpikir, "wajar saja dia bisa mencalonkan diri jadi bupati, sokongan dana dari ayahnya tentu sangat kuat. Apalagi ia juga pernah menyokong dana kampanye untuk salah satu calon Bupati Kudus beberapa tahun lalu." Meskipun, saya hanya menduga, saya yakin Anda pasti enggan mengakui kalau pencalonan Anda itu adalah berkat dorongan dan sokongan dari sang bapak, bukan? 

Ibu Eisti, saya sejak kecil tinggal di Demak. Rumah saya berada tepat di depan sungai yang memanjang di sebelah jalan pantura. Karena itulah, di sini saya ingin menceritakan tentang bagaimana pengalamanku dan kesedihanku kala mengingat kondisi sungai yang ada di Demak, khususnya yang melewati rumahku itu. 

Barangkali bu Eisti lebih dari sekedar tahu bahwa dulu kehidupan masyarakat Demak sangatlah lekat dengan sungainya. Kusebut 'dulu' sebab saat ini kulihat masyarakat Demak mulai menjauhi sungainya. Dulu air sungai itu cukup bersih, bahkan jernih. Saya masih ingat, dulu kami, anak-anak, selalu bermain air di sungai itu. Ketika pagi, kami mencari udang dan ikan-ikan kecil menggunakan ceting/wakul. Sore harinya kami mandi dan mencari ikan juga. 

Selain menjadi tempat bermain anak-anak, sungai juga digunakan oleh para orangtua untuk mandi, terutama mereka yang baru saja pulang dari sawah. Membilas diri di sungai sehabis berjibaku dengan lumpur di sawah nampak lebih menyegarkan dibanding mandi di kamar mandi rumah. Apalagi setelah itu baju yang dipakai bisa langsung dibersihkan kemudian dijemur. Ibu dan kakakku juga biasa menggunakan air sungai untuk mencuci piring dan pakaian. Saya pun demikian. Selain menghemat air, terkadang saat mencuci piring di sungai aku bisa bermain dengan ikan yang menggerombol ketika ada sisa nasi atau makanan yang jatuh dari perabot cucianku. Saya selalu senang ketika merasakan kegelian di kakiku yang ditotoli oleh ikan-ikan kecil. 

Bapakku juga biasa menjaring ikan di sungai itu. Pada malam hari ia akan memasang jaring melintang dari ujung utara sampai ujung selatan, selebar sungai yang panjangnya kurang lebih sepuluh meter. Jika sudah seharian dipasang, bapak akan berenang mengangkat jaring itu. Aku dan kakak-kakakku kerap diminta bapak untuk melepaskan ikan dari jaring yang baru saja ia angkat dari kali. Ular dan yuyu yang tidak kami butuhkan tidak jarang turut terjerat jaring bapak. Kemudian kami akan kegirangan ketika dalam jaring itu terdapat ikan kuthuk yang ukurannya besar. 

Dulu, kali ini juga sering ditumbuhi bengok (eceng gondok). Kami, anak-anak, suka sekali memetik bunganya yang berwarna ungu. Kalau kali sudah penuh dengan bengok, biasanya diadakan kerja bakti di hari minggu untuk membersihkan sungai. Sejauh yang kuingat kegiatan kerja bakti ini berangsur hilang saat aku masih duduk di bangku MTs. Dan bukan hanya kerja bakti, kebiasaan bermain, menggunakan air untuk mencuci, dan bapak menjaring ikan juga sudah jarang dilakukan. Mungkin memang anak-anak sekarang lebih suka bermain dengan gadget, mungkin zaman sekarang mencuci lebih nyaman di rumah, mungkin membeli ikan lebih praktis ketimbang mencarinya. 

Semua kemungkinan penyebab hilangnya kebudayaan sungai kami ada banyak, tapi satu yang menjadi penyebab umum dari semuanya, adalah karena sungai kami sudah tidak sebersih dulu. Kurasakan sejak kawasan industri semakin menjadi-jadi, sungai depan rumahku turut berkurang kualitasnya. Airnya menjadi lebih kumuh, hijau, dan bau. Belum lagi sampah yang memenuhi setiap sudutnya. Semua limbah, baik itu dari pabrik maupun rumah tangga dibuang ke sungai itu. Bahkan saking kotornya, rasa-rasanya eceng gondokpun enggan hidup di sana. 

Ibu Eisti, bupati Demak yang baru, apakah Anda sudah menangkap masalah penting dari pengalaman yang baru saja saya ceritakan? Biar saya perjelas lagi supaya dapat dipahami dengan seksama. Pertama, maraknya industri di kecamatan Sayung dan Karangtengah telah membebani sungai Demak dengan pencemaran yang entah sebesar apa (silahkan ibu lakukan  riset soal ini). Kedua, pengelolaan sampah terpadu di Demak tidak ada (barangkali jika mengacu pengalaman saya setidaknya di wilayah Karangtengah). Ketiga, masyarakat tidak lagi peduli dengan kondisi sungai yang 1) tidak lagi mereka butuhkan, 2) memang tidak dapat dibuat apa-apa alias kotor. Padahal fungsi sungai sangat penting untuk menjaga lingkungannya dari kemungkinan banjir yang kapan saja bisa terjadi. 

Ibu Eisti, saya menyampaikan ini dengan maksud baik supaya Ibu dapat memperhatikan kondisi sungai yang menyedihkan itu. Apa Ibu tidak malu kepada setiap orang yang melintas di jalan Pantura merasa jijik dan terganggu dengan pemandangan sungai yang sungguh tak sedap itu? Kalaupun sungai di Karangtengah tidak Ibu anggap masalah karena air masih bisa mengalir di sana, coba Ibu tengok sungai di Sayung. Betapa hampir tidak ada ruang bagi air di sana untuk mengalir sebab sedimentasi yang sudah sangat parah. 

Ibu Eisti, maaf jika permasalahan yang saya angkat ini cenderung parsial di wilayah tertentu. Namun, dengan melihat satu kondisi yang saya ceritakan tadi, sekiranya Ibu Eisti bisa mulai memperhatikan juga sungai-sungai lain yang mengalir di Kota Demak ini. 

Saya tidak tahu apakah program terkait masalah persungaian ada dalam rencana kerja Ibu dalam lima tahun kedepan, seperti ketidaktahuan saya tentang motivasi Ibu mencalonkan diri menjadi bupati Demak. Jika tidak ada, dan masalah ini dianggap berat, atau akan menambah biaya anggaran, maka abaikan saja. Biarkan sungai Demak dengan keadaannya yang sekarang. Toh dengan adanya pembangunan tol dan tanggul laut Semarang-Demak, dan meluasnya kawasan industri, Demak bakalan tenggelam juga. 

0 Comments