Susah tidur membuat pikiranku makin aktif, atau pikiran yang masih aktif membuatku susah tidur? Entahlah. Jadi daripada pikiranku makin ga karuan kubagi aja isinya di sini. Topiknya adalah tentang poverty alias kemissqueenan. 

Aku adalah salah satu orang yang sangat percaya bahwa kemiskinan yang diderita banyak orang merupakan masalah struktural dan sistematis. Biasanya orang miskin datang dari kelas proletar, atau bahasa halusnya menengah ke bawah. 

Untuk bisa membawa taraf hidup keluarganya naik ke kelas menengah ke atas, atau minimal menengah, orang harus berusaha keras meningkatkan sumber penghasilannya. Sementara di sisi lain, sumber ekonomi dengan penghasilan lebih baik biasanya diraih dengan modal pendidikan tinggi. Fenomena di lingkunganku, lulusan SMA/sederajat pasti larinya jadi buruh pabrik, meskipun tak jarang para sarjana juga menduduki kursi buruh bersama para lulusan SMA. 

Di sisi lain, orangtua yang memburuh tani, misalnya, makin sulit mendapatkan penghasilan sebagai akibat dari tekanan tengkulak, atau gagal panen karena perubahan iklim. Petani gurem (entah sawah atau tambak) adalah kelompok paling rentan akibat perubahan iklim. Bayangkan saja, banjir bisa dengan sekejap melenyapkan usaha tambak dan sawah. Cuaca tak menentu makin sulit menentukan musim apa yang cocok untuk ini dan itu. Padahal untung dari hasil panen toh belum tentu cukup untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan di awal masa tanam. Kalau sudah begini lantas bagaimana mereka mampu memenuhi kebutuhan lain, khususnya pendidikan bagi anaknya? 

Mau gak mau, anak-anak yang tak memiliki keistimewaan untuk memperoleh beasiswa pun terpaksa merelakan keinginannya untuk lanjut kuliah. Yang berkesempatan dapat beasiswa aja ada yang memilih mundur karena orangtua sudah tak sanggup lagi menyokong kebutuhan kuliah anaknya. Selain itu, orangtuanya pun lebih berharap anaknya itu dapat sedikit meringankan bebannya dengan lekas bekerja. Begitulah kelas buruh terus menurun. 

Apakah cerita ini dekat sekali dengan kehidupan Anda? Oh ya jelas, sebab kalian adalah circle-ku. Heheh canda teman. Kalau ada yang merasa ga relate juga gapapa kok. Ga maksa. 

Balik lagi ke pikiranku yang random tadi, ya. Jadi orang miskin itu selalu dihadapkan pada pilihan sulit. Apalagi sudah miskin sakit-sakitan pula. Berpikir makan sehari-hari saja sudah pusing, bagaimana mau berpikir untuk berobat? Memikirkan betapa sulit orang miskin hidup membuatku mafhum kenapa banyak kejadian bunuh diri itu dilakukan karena tekanan ekonomi. Masih ingat kasus ibu bunuh anaknya karena takut anaknya hidup susah? Coba bayangkan jika seluruh orangtua miskin berpikir demikian? Aku rasa bisa terjadi genosida mandiri. 

Eits, tapi kalo sudah begitu keadaannya negara dosa besar sih. Ya gimana enggak, ketimpangan ekonomi terjadi kan karena kebijakan negara yang ngawur. Ngasih jutaan hektar lahan kebun dan hutan ke pengusaha, tapi menyingkirkan rumah bagi jutaan orang yang bergantung di tempat itu. Kalaupun ga diusir dari tanah itu, ada saja negara mengimpor ini itu sehingga komoditi lokal anjlok harganya. Atau pembangunan ini itu yang berdampak buruk ke lingkungan. Bikin orang-orang terutama yang miskin ini makin rentan sakit. Orang miskin mana yang ga makin susah? 

Lagi, kalau sudah begitu, buat anak muda sepantaran saya barangkali, menikah akan jadi pilihan ke berapa? Mungkin ada sebagian yang tidak peduli bagaimana kondisi ekonominya, pokoknya nikah. Tapi buat orang miskin yang sadar konsekuensi nikah, pasti akan menjadikan nikah itu pilihan ke sekian. Apalagi buat generasi sandwich, ga punya hutang itu udah paling bersyukur deh. 

Meskipun masalah kemiskinan itu adalah masalah struktural, bukan berarti kita hanya akan mengutuk sistem terus kan? Selagi mengutuk, kita harus sadar kalau diri kita ini miskin. Amor fati saja lah dengan kemiskinan kita. Jangan udah miskin banyak gaya pula. Hehe, padahal aku kadang juga gitu. 

Tapi prinsipnya gini, kalau penghasilan lebih kecil dari pengeluaran, aku biasanya ngitung. Kalau aku ga bisa cari uang tambahan, ya aku harus mengurangi kebutuhan yang bisa ditekan. Misal, biasanya baju aku laundry, pas dihitung-hitung ternyata biaya laundry lebih besar dari mencuci baju sendiri, ya mending nyuci sendiri dulu. Atau kalau mau beli sesuatu pokoknya selagi tanpa hal tersebut aku masih bisa hidup layak ya ga usah dibeli dulu. 

Tapi mungkin itu hanya bisa berlaku buat mereka yang miskinnya biasa aja. Buat yang udah nekan abis-abisan biaya hidupnya sampe makan nasi hanya dengan garam aja ya ga mempan boss. Seharusnya untuk yang demikian negara bisa hadir sih. Masalahnya ya balik lagi lihat kondisi pengurus negara sekarang, apakah bisa diandalkan? Oh no oh no. 

Dahlah pikiranku makin ruwet jadinya. Semoga dengan cerita ini aku bisa berbagi keruwetan dengan kalean ya gaes. Makasih. Selamat pagi, siang, sore, malam tergantung kapan Anda membaca.

0 Comments