Tulisan berikut ini adalah cerita yang aku dengarkan dari dua sahabat perempuanku. Ini adalah tentang pengalaman menjadi perempuan di dalam masyarakat yang masih patriarkis. Spesifiknya, pengalaman berikut ini akan bercerita tentang bagaimana perempuan dalam usia tertentu dituntut harus menikah.

Seorang teman sebut saja A telah bekerja di sebuah perkantoran sejak ia lulus kuliah dua tahun lalu. Ia pernah bercerita bahwasanya ia bukan tipe orang bekerja, tetapi lebih suka belajar dan berpetualang. Namun sayang, keinginannya untuk melanjutkan kuliah tidak direstui ibunya. Maka, demi mengulur waktu untuk menikah, ia pun pergi bekerja.

A kemudian mengisi hari-harinya dengan bekerja dan sesekali mengikuti aktivitas organisasi sosial. Setahun berlalu, ibunya mulai kerap menanyai dia soal menikah. Apakah dia sudah ada calon? Apakah mau dengan si X? dan seterusnya. Tidak jarang pula lelaki datang ke rumahnya untuk menanyai dia. Namun ia terus berkata: tidak, aku belum siap.

Sikap A tentu membuat jengkel sang ibu. Menurut ibunya, apa lagi yang ditunggu oleh perempuan berusia 24 tahun kalau bukan menikah? Ibunya tidak habis pikir. Ia merasa malu telah menolak orang-orang yang datang menanyai anaknya. Ia bahkan mengancam tidak mau lagi ikut perkumpulan ibu-ibu karena malu anaknya belum juga menikah.

Sikap ibunya yang demikian juga dikarenakan ia ingin segera memiliki cucu. Meskipun si A merupakan anak kedua, ia tetap ingin si A menikah lebih dahulu daripada kakak lelakinya. Padahal kakaknya sudah lebih siap seandainya direstui menikah saat ini juga. Tetapi ibunya selalu menekan agar dia lebih dulu menikah hanya karena dia perempuan.

Tekanan itu membuatnya semakin bingung. Selain belum siap mental, seseorang yang ia cintai pun belum siap jika dituntut untuk menikah lebih cepat. Ia merasa belum memiliki tabungan yang cukup apalagi pemasukan yang semakin berkurang akibat pandemi. Maka ia meminta A menunggu setidaknya dua tahun untuk benar-benar siap menikah.

Tekanan psikis A tak hanya datang dari ibunya. Di kantor iapun menghadapi bos yang tidak menyenangkan, kaku, dan sering marah-marah. Dus, baik di rumah maupun di tempat kerja ia merasa tidak nyaman.

Demi mengalihkan perhatian, ia kemudian menyibukkan diri dengan menanam berbagai macam tanaman di halaman rumahnya. Ia juga masih aktif berorganisasi meski hanya pada acara-acara tertentu saja. Namun tetap, sang ibu selalu mengganggunya dengan khotbah agar dia segera menikah.

Suatu hari, seorang lelaki datang ke rumahnya. Sebut saja Z. Ia adalah tetangga sekaligus teman lamanya. Akan tetapi sejak lulus SD, mereka tidak lagi berjumpa karena si Z pergi mondok bahkan sampai sekarang. Kedatangan Z membuat ia semakin bingung. Apalagi ibunya sudah mewanti-wanti bahwa jika nanti ada yang datang menanyakan tidak boleh ada penolakan lagi.

Di tengah kebingungan itu, ia beranikan diri menanyakan lagi kepastian kekasihnya. Sang kekasih merelakan seandainya ia harus menikah dengan orang lain karena tidak mungkin baginya datang ke rumah A dalam waktu dekat. Jawaban itupun menjadi dasar keputusan bagi si A untuk menerima Z, tapi dengan satu syarat. A baru akan mau menikah ketika ia benar-benar sudah siap secara mental. Z pun tidak keberatan. Dan begitulah akhirnya kisah A.

                                                                    _______

Kisah kedua datang dari si B. B adalah cucu pertama dari keluarga neneknya. Ia lulus dari perguruan tinggi tahun lalu. Kini B hampir berusia 22 tahun. Usia yang menurutku masih muda untuk dituntut segera menikah. Bagi orangtuanya, B memang masih muda untuk menikah, tetapi tidak bagi neneknya. B sudah selayaknya menikah dan memiliki keturunan.

Nenek B sangat menginginkan punya canggah, karena itulah sebagai cucu pertama, perempuan pula, B dituntut segera menikah. Ditambah, neneknya ingin ia dan suaminya kelak yang akan mengurusi sebuah yayasan milik keluarganya.

Demi menghindari tuntutan itu, B sempat menyibukkan diri dengan mengambil kursus bahasa di suatu tempat. Tetapi pasca pandemi iapun harus terus berada di rumah. Selama berada di rumah itulah ia mendapat tekanan untuk segera menikah. Bahkan neneknya sudah menyiapkan calon yang hendak dijodohkan dengannya, dari yang berusia 29 sampai 40 tahun.

Tetapi dia tidak pernah mau. Dia selalu menolak untuk dijodohkan. Penolakannya pun menimbulkan ketegangan antara ia dan neneknya. Ia pun merasa tidak nyaman dan ingin menghindari perseteruan tersebut. Maka ketika kereta api kembali beroperasi, ia berencana pergi keluar kota, mengasingkan diri sambil berusaha mencari pekerjaan. Dan demikianlah cerita si B.
                                                                    _______

Dari kedua cerita tersebut, teman-teman tentu bisa melihat, bagaimana ambisi orangtua bahkan nenek seringkali memaksa anak untuk mengambil pilihan yang tidak disukainya tanpa mereka berpikir bagaimana perasaan dan psikologis anak dalam menghadapi keinginannya itu.

Anak seringkali dipaksa mengalah dan menerima tuntutan orangtuanya jika tidak ingin dianggap durhaka, atau jika ingin si anak membahagiakan orangtuanya. Sikap yang demikian sangatlah egois. Sikap ini dapat membahayakan masa depan si anak, entah itu dalam pendidikan, karir, ataupun rumahtangga.

Orangtua seharusnya melihat anak sebagai seorang yang memiliki jiwa dan keinginan sendiri, lepas dari apa yang menjadi ambisi orangtuanya. Anak mestinya bebas menentukan akan mengambil pilihan mana, menjadi apa, atau bersama siapa kelak. Tugas orangtua hanyalah memberikan pendidikan untuk anak sehingga ia mampu memiliki kepekaan rasa dan nalar untuk mengambil pilihan-pilihan penting dalam hidupnya.

Sayangnya, tak semua orangtua seperti itu. Akhirnya anak hanya akan mendapati dua pilihan, menerima tuntutan atau pergi dari rumah. Keduanya, tergambar jelas dalam dua cerita perempuan tadi.

Dan berikut ini pesan buat teman-teman yang memiliki teman dengan masalah serupa di atas. Jadilah pendengar yang baik. Atau kalau tidak, jangan menyeramahi apalagi mengolok-olok dia. Kata-kata seperti cobalah cari pacar atau merekomendasikan si A si B dll untuk didekati terkesan menyederhanakan persoalan. Menasehati saja mudah, tetapi menjalaninya tidak semudah itu.

Jadi, cukup lah dia mendapat tekanan dari keluarganya, jangan juga dari teman-temannya. Sungguh itu bisa membuat dia semakin frustasi. Ingat teman-temanku, perempuan akan menjadi kuat, jika mereka saling mendengarkan dan menguatkan. Maka berceritalah, berbagilah kisah, aku siap mendengarkan.

0 Comments