Jum'at, 14 Agustus 2020. Siang itu cuaca sangat terik di depan kantor Kementerian Ketenagakerjaan. Seorang perempuan di atas mobil komando berorasi dengan penuh semangat. Yang lain-lain menyahut saat ada pekikan atau pertanyaan. Dari pakaian dan atribut yang mereka bawa aku tahu, mereka adalah para buruh, petani, dan mahasiswa. Mereka datang bersama-sama dengan membawa aspirasi yang sama: menolak RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Entah ini sudah aksi tolak Omnibus Law yang keberapa di ibu kota, yang jelas ini jadi yang pertama buatku.


Semakin siang semakin banyak orang datang, terutama dari elemen buruh. Pakaian mereka kebanyakan berwarna merah. Aku sendiri memakai kaos berwarna merah bertuliskan ‘daulat rakyat’ di dada dan punggung. Aku datang bersama rombongan WALHI Jakarta yang hanya segelintir orang, 10 orang mungkin. Entahlah aku tidak sempat menghitung. Yang jelas jumlah kami sedikit namun yang paling siap seandainya terjadi bentrok: helm proyek, masker babi, dan P3K. Rombongan ini juga turut membawa handsanitizer dan desinfektan mirip semprotan padi supaya bebas virus covid-19.


Di tengah aksi siang itu kami beristirahat sejenak karena menunggu mereka yang tengah menunaikan ibadah sholat jum’at. ketika itu kutanya Rere apa dia sudah makan, sudah katanya. Jadi ternyata sebelum aku sampai di kantor WALJAK semuanya sudah makan. Sial, pikirku. Seharusnya tadi aku makan juga selagi yang lain menyiapkan perangkat aksi. Akhirnya aku membeli batagor seharga 10.000,- di pinggir jalan. Lumayan untuk mengganjal perut.

Usai sholat jum’at orang-orang kembali berkumpul. Massa berencana lanjut ke gedung DPR di Senayan. Awalnya mereka ingin memotong jalan dengan sedikit melawan arus, tetapi oleh polisi dilarang. Cekcok sempat terjadi, namun polisi tetap melarang karena akan membuat macet. Pilihannya lewat flyover atau memutar jalan. Akhirnya massa aksi memilih memutar jalan. Sebenarnya orator telah mengintruksikan bagi yang berjalan kaki lewat jembatan sedangkan yang berkendara lewat jalan memutar. Akan tetapi, bara KASBI sebagai barisan massa paling depan sepertinya tidak begitu menghiraukannya, sehingga langsung berjalan saja. Kami sebagai massa lepas tentu hanya bisa mengikuti barisan yang di depan.

Setelah berjalan jauh namun belum juga menemui jalan memutar, barulah kami sadar ternyata rute ini sangat jauh dan menguras tenaga. Kira-kira satu jam waktu kita gunakan hanya untuk memutar. Ketika sampai di seberang gedung Kementerian Ketenagakerjaan aku dan Rere bertemu Mowa dan yang lain, ternyata mereka lewat jembatan, tidak mengikuti massa aksi yang berjalan jauh untuk memutar. Kata dia: “Ngapain ga ngikut kita.” Ya mana aku tahu. Dalam hati aku hanya bisa memaki: Asu.

Sebenarnya aku tidak masalah berjalan jauh di bawah terik matahari karena dilakukan bersama-sama. Masalah sebenarnya terletak pada sepatuku. Semakin jauh aku berjalan semakin sakit kurasakan jari jempol dan kelingking kakiku. Setiap kali ada jeda berhenti aku lepas sepatuku sekedar untuk bisa bernapas. Sesampainya di Senayan aku pun lebih banyak duduk dibanding berdiri dan berjalan. Sudah tidak sanggup lagi untuk berdiri rasanya. Ketika duduk itulah kulepas kaos kaki dan kulihat kakiku, ternyata lecet, muncul benjolan bening di bawah kelingking, dan kuku di jempolku berwarna kehitaman. Pantas saja sakit sekali.


Di depan gedung DPR masing-masing perwakilan kelompok massa bergantian orasi. Aku mendengarkan sambil memijat kaki dan kepala. Lalu kuperhatikan orang-orang, ternyata tidak banyak massa dari mahasiswa. Setelah maghrib, Gopang WA mengajak makan ketoprak. Kebetulan sekali aku sudah sangat lapar. Makanlah kita di sekitaran depan gedung DPR itu. Aku ajak juga Bagas.

Sebelumnya kami sudah mendengar bahwa ada 15-an orang ditangkap karena dituduh akan melakukan kerusuhan di aksi ini. Mereka bahkan ditangkap di stasiun kereta. Katanya ada yang membawa Molotov. Seorang teman kami, Teo juga ditangkap karena memakai baju berwarna hitam. Jadi, baju atau kaos hitam itu sudah ditandai oleh polisi sebagai anggota Anarko, yang menurut mereka adalah biang kerusuhan. Karena itulah kalau bisa kita jangan memakai kaos hitam saat aksi. Adanya penangkapan itu membuatku yakin aksi malam ini tidak mungkin sampai chaos. Maka tenanglah kita makan di tengah aksi. Kemungkinan akan lari saat sedang memegang piring sangat kecil.

Aksi ini berakhir pada pukul 21.00 WIB tanpa ada satupun anggota dewan yang menemui massa. Sebelum massa benar-benar bubar kami (aku, Bagas, Gopang) memutuskan untuk pulang. Dan di sini kami harus berjalan lagi agak jauh karena tidak mungkin memesan ojek online di sekitar lokasi aksi. Sepanjang kami berjalan entah berapa kilo nampak para polisi mempersiapkan diri dengan perlengkapan keamanan dan senjata.

Aku membayangkan seandainya benar-benar terjadi chaos, mungkin aku hanya bisa pasrah karena kaki rasanya sudah mau patah, tidak bisa dibawa lari. Sebenarnya dalam benakku aku ingin aksi ini chaos. Sebab, aksi akan lebih berkesan jika itu terjadi. Namun, gara-gara aksi longmarch ini akhirnya membuatku justru berharap chaos tidak terjadi. Setelah agak berjarak dari kumpulan para aparat kepolisian kamipun memesan Go-Car, kembali ke mess WALHI.

Starling (Starbak Keliling)


0 Comments